Selasa, 19 Juni 2012

Contoh Proposal SKripsi SOSIOLOGI


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang


Dalam dunia pendidikan, salah satu kunci untuk menentukan kualitas lulusan adalah kurikulum pendidikannya. Karena pentingnya maka setiap kurun waktu tertentu kurikulum selalu dievaluasi untuk kemudian disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar. Namun perubahan kurikulum tersebut jika dikaji dari segi proses pelaksanaannya, saat sekarang ini sangatlah tidak efisien. Dapat dilihat dari ketidaksiapan guru dalam mengaplikasikan sebuah kurikulum baru yang datang.

Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali diadakan perubahan dan perbaikan kurikulum yang tujuannya sudah tentu untuk menyesuaikannya dengan perkembangan dan kemajuan zaman, guna mencapai hasil yang maksimal.

Perubahan kurikulum didasari pada kesadaran bahwa perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Perubahan secara terus menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional, termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan.

Perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia dewasa ini salah satu diantaranya adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri selalu dinamis. Selain itu, perubahan tersebut juga dinilainya dipengaruhi oleh kebutuhan manusia yang selalu berubah juga pengaruh dari luar, dimana secara menyeluruh kurikulum itu tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh prubahan iklim ekonomi, politik, dan kebudayaan. Sehingga dengan adanya perubahan kurikulum itu, pada gilirannya berdampak pada kemajuan bangsa dan negara. Kurikulum pendidikan harus berubah tapi diiringi juga dengan perubahan dari seluruh masyarakat pendidikan di Indonesia yang harus mengikuti perubahan tersebut, karena kurikulum itu bersifat dinamis bukan stasis, kalau kurikulum bersifat statis maka itulah yang merupakan kurikulum yang tidak baik.

Dapat diambil pengertian, bahwa tujuan dari kurikulum tersebut adalah untuk membuat kualitas pendidikan menjadi lebih baik dari sebelumnya, akan tetapi hendaknya factor-faktor yang menyangkut dengan kurikulum seperti, guru dan murid harus lah diperhatikan. Dari fenomena yang dapat dilihat di lingkungan sekolah, dari perubahan kurikulum yang relative singkat tersebut, baik guru maupun murid mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan kurikulum yang baru yang menuntut banyak perubahan, sedangkan kurikulum sebelumnya belum dapat dilaksanakan dengan baik.

Pendidikan di negara kita ini sangatlah memprihatinkan jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Korea Selatan, Singapora, Jepang, Taiwan, India, China dan Malaysia ataupun negara-negara lain yang sudah mengalami kemajuan yang sangat pesat pada bidang pendidikan. Pada satu sisi, betapa dunia pendidikan di Indonesia saat ini dirundung masalah yang besar, sedangkan pada sisi lain tantangan memasuki milenium ketiga tidak bisa dianggap main-main.
Menurut Sudarminta, SJ masalah yang dihadapi pada dunia pendidikan di Indonesia saat ini meliputi :
1. Mutu pendidikan kita masih rendah
2. Sistem pembelajaran di sekolah-sekolah yang belum memadai
3. Krisis moral yang melanda masyarakat Indonesia

Sedangkan tantangan yang dihadapai agar tetap “hidup” memasuki milenium ketiga adalah perlunya diupayakan :
1. Pendidikan yang tanggap terhadap situasi persaingan dan kerjasama global.
2. Pendidikan yang membentuk pribadi yang mampu belajar seumur hidup.
3. Pendidikan yang menyadari sekaligus mengupayakan pentingnya pendidikan nilai.

Dengan kondisi pemerintah sekarang yang masih harus menanggung beban krisis yang begitu berat, rasanya tidaklah tepat apabila kita menunggu kebijakan dari pemerintah pusat untuk membenahi kondisi pendidikan kita. Sehingga semua pihak yang bertanggung jawab atas kondisi dan sistem pendidikan yang ada di negara kita hendaknya ikut memikirkan bagaimana caranya agar pendidikan di Indonesia dapat mengalami kemajuan seperti negara-negara lain.

Berdasarkan uaraian diatas alangkah berdosanya kalau kita sebagai guru tidak ikut bertanggung jawab atas sistem pendidikan di negara kita tercinta ini. Di samping itu kita akan melihat kurikulum pendidikan di Indonesia yang sudah beberapa tahun ini mengalami reformasi kurikulum yaitu dari kurikulum tahun 1975, 1984, 1994, 2004 dan KTSP 2006 hingga sekarang.
Dalam pembahasan nanti kita akan melihat beban dan isi dari masing-masing kurikulum tersebut, sehingga kita akan mengetahui kelemahan ataupun kelebihan dari masing-masing kurikulum tersebut.
Bila kurikulumnya di desain dengan sistematis dan komprehensif serta integral dengan segala kebutuhan pengembangan dan pembelajaran anak didik, tentu out put pendidikan akan mampu mewujudkan harapan. Tetapi bila tidak, kegagalan demi kegagalan akan terus menghantui dunia pendidikan.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti mencoba melakukan penelitian terhdap dampak perubahan kurikulum berbasis kompetensi ke kurikulum tingkat satuan pendidikan dalam meningkatkan kinerja guru di SMAN 2 Kota Bima.

B.     Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada dampak perubahan kurikulum dari kurikulum berbasis kompetensi ke kurikulum tingkat satuan pendidikan dalam meningkkatkan kinerja guru Di SMA negeri 2 Kota Bima?
C.    Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian yang penulis angkat ini adalah untuk mengetahui dampak perubahan kurikulum dari KBK ke KTSP dalam meningkkatkan kinerja guru di SMA 2 Kota Bima.

D.    Manfaat penelitian
Berdasarkan tujuan penulisan diatas maka diharapakan makalah ini dapat bermanfaat bagi;
  1. Bagi mahasiswa dapat dijadikan rujukan untuk penelitian lebih lanjutnya.
  1. Masyarakat
Memberikan informasi yang bermanfaat tentang kurikulum dan perubahannya yang ada di Indonesia dan pengaruh perubahan kurikulum tersebut, bagi masyarakat pada umumnya
  1. Pembaca
Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang kurikulum dan dapat menjadi sumber informasi jika mencari informasi tentang kurikulum yang ada di Indonesia.
  1. Penulis
Untuk menambah pengetahuan bagi penulis tentang kurikulum dan perubahannya serta pengaruhnya bagi kinerja guru.
E.     Hipotesis penelitian

Adapun hipotesis penelitian yang coba penulis angkat adalah ada dampak perubahan kurikulum dari KBK ke KTSP dalam meninggkatkan Kinerja Guru Di SMA 2 Kota Bima.
F.     Ruang lingkup dan keterbatasan peneleitian
1.    Ruang Lingkup Penelitian
Agar penelitian ini dapat berjalan dengan baik, maka ruang lingkup penelitian ini perlu dibatasi pada:

a.    Variabel bebas
Yang menjadi variabel bebas dalam peneitian ini kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum tingkat satuan pendidikan.
b.    Varibel terikat
 Yang menjadi variabel terikat dalam penelitian adalah kinerja guru di SMAN 2 Kota Bima.
2.    Keterbatasan Penelitian     
Penelitian ini terbatas pada dampak perubahan kurikulum KBK ke KTSP dalam meningkatkan Kinerja guru Di SMAN 2 Kota Bima.
G.    Definisi operasional variable

1.      Kurikulum adalah : seperangkat rencana dan pengaturan yang mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara-cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu
2.      Kinerja guru adalah : segala sesuatu yang bersifat penerapan, pengaplikasian dan usaha yang dilakukan oleh guru dalam upaya peningkatan kualitas mutu baik mutu pribadi atau profesionalitas, mutu siswa atau hasil belajar maupun mutu sekolah atau prestasi sekolah.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Perubahan KBK ke KTSP
1.      Pengertian
Berdasarkan pengertian kurikulum Tim PEKERTI-AA PPSP LPP Universitas Sebelas Maret menyatakan “ Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan yang mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara-cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” (2007:8).
Senada dengan Tim PEKERTI-AA PPSP LPP Universitas Sebelas Maret, Print menjelaskan “curriculum is defined as all the planned learning opportunities offered to learners bt the educational institution and the experiences learners encounter when the curriculum is implemented” (1988:4). Dalam penjelasannya Print menjelaskan bahwa kurikulum merupakan sebuah kesempatan dan tawaran bagi para peserta didik yang ditawarkan oleh institusi pendidikan dan dari pengalaman peserta didik sebelumnya saat kurikulum tersebut di implementasikan
Dalam hal ini Skillbeck menyatakan bahwa kurikulum digunakan untuk acuan pengalaman pembelajaran siswa, dalam hal ini di perlihatkan dalam pembentukan tujuan, rencana, dan rancangan untuk pembelajaran dan pengimplementasian dari rencana-rencana tersebut dan rancangan dalam lingkungan sekolah.
Eisner (1979) dalam Murray Print setuju bahwa “the curriculum of a school, or a classroom can be conceived of as series of planned events that are intended to have educational consequences for one ore more students”. Eisner menjelaskan bahwa Kurikulum dari sebuah sekolah, pembelajaran, kegiatan kelas dapat dipahami sebagai sebuah bagian-bagian dari rancangan kegiatan yang dimaksudkan sebagai akibat dari pendidikan bagi satu atau lebih dari siswa.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kurikulum adalah sebuah rancangan rencana pendidikan yang akan dijalani oleh peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh institusi tertentu.
2.      Fungsi dan peranan  kurikulum
1.      Fungsi Kurikulum
 Pada dasarnya kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman atau acuan. Bagi guru, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran. Bagi kepala sekolah dan pengawas, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi atau pengawasan. Bagi orang tua, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman dalam membimbing anaknya belajar di rumah. Bagi masyarakat, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan bantuan bagi terselenggaranya proses pendidikan di sekolah. Bagi siswa sebagai subjek didik, terdapat enam fungsi kurikulum sebagai berikut: (a) fungsi penyesuaian, (b) fungsi integrasi, (c) fungsi diferensiasi, (d) fungsi persiapan, (e) fungsi pemilihan, dan (f) fungsi diagnostik.
a.       Fungsi Penyesuaian.
Fungsi Penyesuaian mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifat well adjusted yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan itu sendiri senantiasa mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Karena itu, siswa pun harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya.
b.      Fungsi Integrasi.
Fungsi Integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral dari masyarakat. Oleh karena itu, siswa harus memiliki kepribadian yang dibutuhkan untuk dapat hidup dan berintegrasi dengan masyarakatnya.
c.       Fungsi Diferensiasi.
Fungsi Diferensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan individu siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik dari aspek fisik maupun psikis, yang harus dihargai dan dilayani dengan baik.
d.      Fungsi Persiapan.
Fungsi Persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, kurikulum juga diharapkan dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat seandainya karena sesuatu hal, tidak dapat melanjutkan pendidikannya.
e.       Fungsi Pemilihan.
Fungsi Pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat hubungannya dengan fungsi diferensiasi, karena pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa berarti pula diberinya kesempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa yang sesuai dengan minat
dan kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua fungsi tersebut, kurikulum perlu disusun secara lebih luas dan bersifat fleksibel.
f.       Fungsi Diagnostik
Fungsi Diagnosti mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan yang dimilikinya. Jika siswa sudah mampu memahami kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya, maka diharapkan siswa dapat mengembangkan sendiri potensi kekuatan yang dimilikinya atau memperbaiki kelemahan-kelemahannya.
  1. Peranan Kurikulum
Kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah/madrasah memiliki peranan yang sangat strategis dan menentukan pencapaian tujuan pendidikan. Terdapat tiga peranan yang dinilai sangat penting, yaitu: (a) peranan konservatif, (2) peranan kreatif, dan (3) peranan kritis/evaluatif (Oemar Hamalik, 1990).
a.       Peranan Konservatif.
Peranan ini menekankan bahwa kurikulum sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para siswa. Dengan demikian, peranan konservatif ini pada hakikatnya menempatkan kurikulum, yang berorientasi ke masa lampau. Peranan ini sifatnya menjadi sangat mendasar, disesuaikan dengan kenyataan bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan proses sosial. Salah satu tugas pendidikan yaitu mempengaruhi dan membina perilaku siswa sesuai dengan nilai-nilai sosial yang hidup di lingkungan masyarakatnya.
b.      Peranan Kreatif.
Peranan ini menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan kebutuhan- kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa mendatang. Kurikulum harus mengandung hal-hal yang dapat membantu setiap siswa mengembangkan semua potensi yang ada pada dirinya untuk memperoleh pengetahuan- pengetahuan baru, kemampuan-kemampuan baru, serta cara berpikir baru yang dibutuhkan dalam kehidupannya.
c.       Peranan Kritis dan Evaluatif.
Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan, sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang. Selain itu, perkembangan yang terjadi pada masa sekarang dan masa mendatang belum tentu sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Karena itu, peranan kurikulum tidak hanya mewariskan nilai dan budaya yang ada atau menerapkan hasil perkembangan baru yang terjadi, melainkan juga memiliki peranan untuk menilai dan memilih nilai dan budaya serta pengetahuan baru yang akan diwariskan tersebut. Dalam hal ini, kurikulum harus turut aktif berpartisipasi dalam kontrol atau filter sosial. Nilai-nilai sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan tuntutan masa kini dihilangkan dan diadakan modifikasi atau penyempurnaan-penyempurnaan. Ketiga peranan kurikulum di atas tentu saja harus berjalan secara seimbang dan harmonis agar dapat memenuhi tuntutan keadaan. Jika tidak, akan terjadi ketimpangan-ketimpangan yang menyebabkan peranan kurikulum persekolahan menjadi tidak optimal. Menyelaraskan ketiga peranan kurikulum tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam proses pendidikan, di antaranya guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, siswa, dan masyarakat. Dengan demikian, pihak-pihak yang terkait tersebut idealnya dapat memahami betul apa yang menjadi tujuan dan isi dari kurikulum yang diterapkan sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
3.  kurikulum Di Indonesia
1.      Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular dibandingkan dengan curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, ditambah garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Hal yang diutamakan adalah pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2.      Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
3.      Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan
4.      Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
5.      Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
6.      Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan. Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat.
Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
7.      Kurikulum 2004
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru diujicobakan, di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)
8.      KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan kerangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
4. Sejarah Berubahnya Kurikulum Di Indonesia
Seperti yang telah paparkan sebelumnya bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Banyak pertanyaan yang terlontar dari berbagai kalangan “Mengapa kurikulum di negara kita sering berubah? ”. Dan banyak juga pernyataan yang merupakan jawaban sinis dari pertanyaan di atas, ”Biasa, ganti Menteri Pendidikan, ya ganti kurikulumnya”. Benarkah demikian ?
Penulis menganalisa secara global tentang perjalanan sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah sejak Indonesia merdeka, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan berturut-turut, yaitu pada tahun 1947, tahun1952, tahun1964, tahun1968, tahun1975, tahun1984, tahun1994, dan tahun2004, serta yang terbaru adalah kurikulum tahun 2006. Dinamika tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan IPTEK dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Namun yang jelas, perkembangan semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan  perbedaannya terletak pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam mengimplementasikannya.
Dimulai pada tahun 1947, saat itu kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Peladjaran 1947 (sebutan kurikulum saat itu) merupakan pengganti sistem  pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai development conformism (pelaku pembaharuan) lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
Pada tahun 1952, kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan, dengan menggunakan sebutan Rentjana Peladjaran Terurai 1952.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Ciri yang paling menonjol dalam kurikulum 1952 adalah setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Menjelang tahun 1964, dilakukan kembali penyempurnaan sistem kurikulum di Indonesia, yang hasilnya dinamakan Rentjana Pendidikan 1964.
Yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah penekanan pada pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional / artistik, keprigelan, dan jasmani.
Dari Kurikulum 1964 diperbaharui menjadi kurikulum 1968,  dalam hal ini terjadi  perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penekanan dalam Kurikulum 1968, pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik.
Sebagai pengganti kurikulum 1968 adalah kurikulum 1975.  Dalam kurikulum ini menggunakan pendekatan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), mengarah kepada tercapainya tujuan spesifik, yang dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa. Dalam pelaksanaannya banyak menganut psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Menjelang tahun 1983, kurikulum 1975 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan perkembangan IPTEK. Sehingga dipertimbangkan untuk segera ada perubahan. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 dengan kurikulum 1984.
Kurikulum 1984 berorientasi kepada tujuan instruksional, didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor
Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral yakni pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.
Pada tahun 1993, disinyalir bahwa pada kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola pengajaran yang berorientasi pada teori belajar mengajar yang  kurang memperhatikan muatan pelajaran, sehingga lahirlah sebagai penggantinya adalah kurikulum1994.
Ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya adalah pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem caturwulan Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi). Dalam pelaksanaan kegiatan, guru harus memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Untuk mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen dan penyelidikan. Dan dalam pengajaran suatu mata pelajaran harus menyesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya adalah beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/substansi setiap mata pelajaran.  Hal ini mendorong para pembuat kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya penyempurnaan adalah diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994.
Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Dengan dilaksanakannya UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, sehingga sebagai konsekuensi logis harus terjadi juga perubahan struktural dalam penyelenggaraan pendidikan, maka bersamaan dengan hal tersebut terjadilah perubahan lagi pada kurikulum pendidikan.
Kurikukum yang dikembangkan pada tahun 2004 diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidikan berbasis kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan (kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standard performan yang telah ditetapkan. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu KBK sebagai pedoman pembelajaran.
Sejalan dengan visi pendidikan yang mengarahkan pada dua pengembangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan kebutuhan masa datang, maka pendidikan di sekolah dititipi seperangkat misi dalam bentuk paket-paket kompetensi.
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu. Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum adalah sebagai berikut :
·         Kompetensi berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.
·         Kompetensi menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten.
·         Kompeten merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.
·         Kehandalan kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
KBK berorientasi pada:
·         Hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna.
·         Keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya.
KBK memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
·         Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
·         Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
·         Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
·         Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
·         Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
·         Struktur kompetensi dalam KBK dalam suatu mata pelajaran memuat rincian kompetensi dasar mata pelajaran itu dan sikap yang diharapkan dimiliki siswa.
·         Struktur kompetensi dasar KBK ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan semester. Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun dan dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut.
·         Pernyataan hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level.
·         Perumusan hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, Apa yang harus siswa ketahui dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?.
·         Hasil belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan dengan kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian.
·         Setiap hasil belajar memiliki seperangkat indikator.
·         Perumusan indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, Bagaimana kita mengetahui bahwa siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?.
Guru akan menggunakan indikator sebagai dasar untuk menilai apakah siswa telah mencapai hasil belajar seperti yang diharapkan. Indikator bukan berarti dirumuskan dengan rentang yang sempit, yaitu tidak dimaksudkan untuk membatasi berbagai aktivitas pembelajaran siswa, juga tidak dimaksudkan untuk menentukan bagaimana guru melakukan penilaian. Misalkan, jika indikator menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan konsep atau gagasan tertentu, maka ini dapat ditunjukkan dengan kegiatan menulis, presentasi, atau melalui kinerja atau melakukan tugas lainnya.
Yang paling mutahir adalah KTSP, Untuk menghindari dampak negatif yang kemungkinan terjadi seperti diuraikan di atas, perlu disosialisasikan secara luas dan benar esensi KTSP dan potensi dampak positif yang akan dihasilkannya di dalam praktik pendidikan di lapangan. Sikap kritis terhadap ide pembaharuan pendidikan memang perlu dikembangkan, tetapi harus disertai dengan sikap keterbukaan (open mindedness) dan keobjektifan di dalam menilai ide pembaruan tersebut. Agar kesetimbangan penyikapan ini dapat terjadi diperlukan penajaman yang cukup komprehensif, dengan mengedepankan sisi-sisi positif secara berimbang dengan potensi resiko yang dapat ditimbulkannya terutama bila ide pembaharuan tersebut tidak dipahami secara benar.
Ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi kebijakan Pemerintah tentang KTSP tersebut :
1.      Secara substansial nuansa reformasi kurikulum tidak mampu memaknai otonomi pendidikan yang sebenarnya. Reformasi setengah hati ini malah membingungkan pemangku kepentingan pendidikan, jangankan menyusun kurikulum, menjalankan kurikulum yang sudah adapun sulitnya setengah mati. Oleh karena itu, tepatlah orang melabeli KTSP sebagai kurikulum tidak siap pakai.
2.      Buaian sentralistik pendidikan yang selama ini terjadi telah menjadi virus yang mengerdilkan ide dan kreativitas satuan pendidikan dalam memberdayakan potensi dirinya. Penyakit ini telah coba diatasi dengan berbagai upaya oleh pemerintah. Misalnya, saat pemerintah pusat tercengang dengan minimnya pergulatan kreativitas sekolah, dikumandangkanlah paradigma otonomi pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah. Kenyataannya, institusi prasyarat manajemen berbasis sekolah seperti dewan pendidikan dan komite sekolah hanya hiasan struktur organisasi. Bukan sebagai alat vital organisasi. Mereka tak berdaya karena ketidaktahuan dan kebiasaan ketergantungan. Maklumlah, di Indonesia sistem manajemen pendidikan tak sefundamental kurikulum dan ujian. Lain halnya kebijakan try and error yang menyangkut kurikulum.
3.      Sudah rahasia umum, pendidikan keguruan di negeri ini tidak pernah menyiapkan guru dan sekolah menjadi pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP guru harus mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan materi pembelajaran, sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmoni pembelajaran yang efektif dan efisien. Paradoks KTSP dan kesiapan guru bisa menjadi musibah nasional pendidikan. Musibah intelektual ini sulit di-recovery dan butuh waktu relatif lama, apalagi jika dikaitkan dengan konteks global jelas terjadi ironi. Globalisasi memaksa terjadinya variasi dan dinamika sumber pengetahuan. Dulu guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Sejalan dengan globalisasi, guru bukan satu-satunya lagi sumber pengetahuan. Siswa memiliki peluang mengakses informasi dari berbagai sumber, dikenallah istilah on-line learning.
4.      KTSP menghadapi tantangan besar terkait keterpaduan informasi lokal, nasional, dan internasional. Kemampuan memadukan ini hanya bisa dilakukan oleh sumber daya yang memang disiapkan jauh-jauh hari, bukan oleh guru yang disiapkan secara instan melalui berbagai program pendampingan pengembangan kurikulum. Lebih berbahaya lagi jika sekolah akhirnya menjiplak panduan yang ditawarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tujuan mulia KTSP pada akhirnya hanya akan melahirkan sekolah-sekolah ’kurung batok’, instan, dan kerdil kreativitas.
Sekedar untuk digaris bawahi bahwa secara substansial, pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi, yaitu :
·         Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
·         Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
·         Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
·         Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
·         Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
·          Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya, bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikan sesuai karakteristik Satuan Pendidikan dan keberadaannya, dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabus dan Rancangan Pelaksanaan Pembelajarannya.

B.     Kinerja guru
1.      Pengertian
Istilah Kinerja berasal dari kata job performane atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Menurut Mangkunegara “kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
Kinerja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris work performance atau job performance. Kinerja dalam bahasa Indonesia disebut juga prestasi kerja. Kinerja atau prestasi kerja diartikan sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap, keterampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu. Masalah kinerja selalu mendapat perhatian dalam manajemen karena sangat berkaitan dengan produktivitas lembaga atau organisasi. Hal ini sebagaimana pendapat Keith Davis bahwa faktor yang dapat mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (abality) dan faktor motivasi (motivation) atau dengan kata lain, “performance = abality + motivation”.
Seperti diketahui banyak orang yang mampu bekerja tetapi tidak mempunyai motivasi untuk melaksanakan sesuatu maka tidak menghasilkan kinerja, demikian juga bayak orang yang termotivasi tetapi tidak mampu melaksanakan suatu pekerjaaan, maka juga tidak menghasilkan kinerja apa-apa. Kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan atau kemampuan bekerja, dengan kata lain kinerja dapat diartikan sebagai prestasi kerja.
Kinerja atau performance merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika. Kinerja individu adalah dasar kinerja organisasi, dan untuk memaksimalkan kinerja masing-masing individu, berhubungan dengan perilaku individu.
Samsudin (2006:159) memberikan pe­ngertian kinerja sebagai tingkat pe­laksanaan tugas yang dapat dicapai se­seorang dengan menggunakan kemampu­an yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan Nawawi (2005:234) memberikan pengertian kinerja sebagai hasil pelaksanaan suatu pekerjaan.
Pengertian tersebut memberikan pema­haman bahwa kinerja merupakan suatu perbuatan atau perilaku seseorang yang secara langsung maupun tidak langsung dapat diamati oleh orang lain.

Di pihak lain, Gibson, et al. (2006: 149), dan Hersey & Blanchard (1993: 5), mendefinisikan kinerja sebagai tingkat ke­berhasilan yang dinyatakan dengan fungsi dari motivasi dan kemampuan. Sedangkan, Mulyasa (2004:136) mendefinisikan kinerja sebagai prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, hasil kerja atau unjuk kerja.

Dari beberapa definisi yang dike­mukakan di atas, dapat dinyatakan bahwa kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya atau pekerjaannya selama periode tertentu sesuai standar dan kriteria yang telah ditetapkan untuk pekerjaan tersebut. Untuk mengetahui prestasi yang telah dicapai oleh seseorang dalam suatu organisasi perlu dilakukan penilaian kinerja.

Evaluasi kinerja (performance eva­luation) juga dikenal dengan penilaian kinerja (performance appraisal), yaitu suatu aktivitas untuk menentukan keberhasilan pegawai dalam melakukan suatu pekerjaan dengan hasil yang baik (Ivancevich, 2007: 253). Untuk memudahkan penilaian kinerja diperlukan indikator-indikator kinerja yang jelas. Rivai dan Basri (2005:17) men­jelaskan faktor-faktor yang menandai kinerja seseorang, antara lain: (1) ke­butuhan yang ingin dibuat, (2) tujuan khusus, (3) kemampuan, (4) komitmen, (5) perhatian pada setiap kegiatan, (6) usaha, (7) ketekunan, (8) ketaatan, (9) ke­sediaan untuk berkorban, dan (10) me­miliki standar yang jelas.
Penilaian kinerja dapat juga dilakukan melalui fungsi interaksi dari beberapa faktor yang didefinisikan mempengaruhi kualitas dan kuantitas kinerja. Ainsworth, Smith & Millership (2007: 5). menjelaskan bahwa kinerja merupakan hasil akhir dari per­samaan kemampuan (A), dengan motivasi (M), sedangkan Robbins (1996: 219) mem­berikan definisi kinerja sebagai fungsi dari kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (0), atau kinerja = f(A,M,O).
Formulasi kinerja tersebut menunjukkan bahwa kinerja merupakan hasil interaksi antara kemampuan, motivasi dan ke­sempatan seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Untuk menyelesaikan tugas atau pe­kerjaan tertentu maka seseorang harus memiliki tingkat kesediaan dan kemampuan yang mendukung penyelesaian perkerjaan tersebut.
Kesediaan seseorang untuk me­ngerjakan sesuatu tidaklah efektif tanpa didukung oleh pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagai­mana mengerjakannya. Dengan demikian, aspek kemampuan dan kesediaan se­seorang secara bersama-sama akan ber­pengaruh terhadap kinerjanya.Dalam implementasi penyelesaian tugas, seseorang tidak sekedar me­merlukan motivasi, tetapi lebih menuntut komitmen seseorang dalam menjalankan tugas yang menjadi tanggung-jawabnya. Komitmen berkaitan dengan kesediaan, ke­pedulian, ketertarikan atas sesuatu dengan penuh tanggung jawab.
Oleh karena itu, komitmen menjalankan tugas dinyatakan sebagai salah satu kemampuan yang digunakan untuk meng­ukur kinerja guru. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kinerja seseorang terhadap pe­kerjaan tertentu dalam kurun waktu tertentu dapat diukur berdasarkan ke­mampuan dan komitmen dalam men­jalankan tugas. Kemampuan yang terkait dengan tugas guru adalah pengusaan ter­hadap bahan ajar yang akan diajarkan dan kemampuan mengelola proses pem­belajaran.
Dengan demikian kinerja lebih berkonotasi pada sejauhmana seseorang melakukan aktifitas baik yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban yang sesuai dengan tingkat kompetensi yang dikuasai­nya atau dengan kata lain kinerja sebagai perilaku lebih banyak dimotori dan koordinasikan oleh sejumlah pengetahuan maupun informasi yang dikuasai seseorang dalam melaksanakan kegiatan sesuai dengan tuntutan tugasnya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja guru adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seorang guru di lembaga pendidikan atau madrasah sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan kata lain, hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhannya.

2.      Kinerja Guru dalam pembelajaran
Menurut Sanjaya (2005:13-14), kinerja guru ber­kaitan dengan tugas perencanaan, pe­ngelolalan pembelajaran dan penilaian hasil belajar siswa. Sebagai perencana, maka guru harus mampu mendesain pembelajaran yang sesuai dengan kondisi di lapangan, sebagai pengelola maka guru harus mampu menciptakan iklim pem­belajaran yang kondusif sehingga siswa dapat belajar dengan balk, dan sebagai evaluator maka guru harus mampu me­laksanakan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
Lebih lanjut Brown dalam Sardiman (2000: 142) menjelaskan tugas dan peranan guru, antara lain: menguasai dan mengembangkan materi pelajaran, merencanakan dan mempersiapkan pela­jaran sehari-hari, mengontrol dan meng­evaluasi kegiatan belajar siswa.
Pembelajaran sebagai wujud dari kinerja guru, maka segala kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru harus menyatu, menjiwai, dan menghayati tugas-tugas yang relevan dengan tingkat kebutuhan, minat, bakat dan tingkat kemampuan peserta didik serta kemampuan guru dalam mengorganisasi materi pembelajaran dengan penggunaan ragam teknologi pembelajaran yang memadai.
Menurut Silverius (2003: 97), guru adalah tokoh sentral pendidikan dalam upaya menyiapkan kader bangsa di masa depan, kunci sukses reformasi pendidikan. Di antara beberapa faktor yang mem­pengaruhi proses dan hasil belajar siswa, faktor guru mendapat perhatian yang per­tama clan utama, karena baik-buruknya pelaksanaan suatu kurikulum pada akhir­nya bergantung pada aktivitas dankreativitas guru dalam menjabarkan dan merealisasikan arahan kurikulum tersebut. Oleh karena itu, guru harus profesional dalam menjalankan tugasnya
Syafaruddin dan Nasution (2003: 97), menjelaskan guru profesional yang ber­tugas mengajar di sekolah memerlukan keahlian khusus. Sebagai kegiatan yang berkaitan dengan pembinaan potensi anak yang sedang mengalarni perkembangan, maka guru harus benar-benar ahli dalam tugasnya. Sedangkan Nurdin (2005: 22), menjelaskan seorang guru profesional harus memahami apa yang diajarkannya dan menguasai bagaimana mengajarkan­nya
Pembelajaran menurut Hudoyo (1979: 25), menjelaskan bahwa tugas guru sebagai pelaksana kurikulum harus memahami empat pertanyaan kurikulum, yaitu mengapa, apa, bagaimana dan ke­pada siapa topik-topik harus diajarkan? Pertanyaan pertama, mengapa topik-topik harus diajarkan, berkaitan dengan pemahaman guru tentang kegunaan dan hakekatnya. Pertanyaan kedua, apa yang akan diajarkan, berkaitan dengan penguasaan guru terhadap bahan ajar yang akan diajarkan. Pertanyaan ketiga, bagaimana mengajarkan, berkaitan dengan pengu­asaan guru tentang strategi pembelajaran, dan pertanyaan keempat, kepada siapa bahan ajar diajarkan berkaitan dengan pemahaman guru tentang karakteristik siswa yang belajar.
Uraian teoretis di atas memberikan arahan bahwa tugas guru dalam pem­belajaran menuntut pengu­asaan bahan ajar yang akan diajarkan dan penguasaan tentang bagai­mana mengajarkan bahan ajar yang menjadi pilihan. Pemilihan bahan ajar dan strategi pembelajaran yang akan di­gunakan dalam pembelajaran oleh guru tentunya disesuaikan dengan karakteristik siswa yang akan belajar dan kurikulum yang berlaku.
Agar guru dapat mengajar dengan baik, maka syarat pertama yang harus dimiliki adalah menguasai betul dengan cermat dan jelas apa-apa yang hendak diajarkan. Seorang guru yang tidak menguasai bahan ajar, tidak mungkin dapat mengajar dengan baik kepada para siswanya. Oleh karena itu, penguasaan bahan ajar merupakan syarat essensial bagi guru. Hal penting dalam pembelajaran setelah guru menguasai bahan ajar adalah peran guru dalam mengelola pembelajaran.
Pengelolaan pembelajaran menjadi hal penting karena berkaitan langsung dengan aktivitas belajar siswa. Upaya guru untuk menguasai bahan ajar yang akan diajarkan, merencanakan dan melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan optimal dapat terwujud jika dalam diri guru tersebut ada dorongan dan tekad yang kuat (komitmen) untuk menjalankan tugasnya dengan baik.
Dengan demikian, untuk mendapatkan proses dan hasil belajar siswa yang berkualitas tentu memerlukan kinerja guru yang maksimal. Agar guru dapat menunjuk­kan kinerjanya yang tinggi, paling tidak guru tersebut harus memiliki penguasaan terhadap materi apa yang akan diajarkan dan bagaimana mengajarkannya agar pembelajaran dapat berlangsung efektif dan efisien serta komitmen untuk men­jalankan tugas-tugas tersebut
Berdasarkan pada uraian di atas, maka kinerja guru dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan seorang guru secara ke­seluruhan dalam periode waktu tertentu yang dapat diukur berdasarkan tiga indicator yaitu: penguasaan bahan ajar, kemampuan mengelola pembelajaran dan komitmen menjalankan tugas. Berikut ini secara berturut-turut ketiga indicator tersebut di­bahas secara teoretik.

1. Penguasaan Bahan Ajar
Halsey (1994: 148) menyatakan bahwa syarat pertama agar berhasil dalam mengajar ialah menguasai betul dengan cermat dan jelas apa-apa yang hendak diajarkan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Nurdin (2005: 80) bahwa penguasaan bahan ajar yang akan diajarkan adalah mutlak dimiliki dan dikuasai oleh setiap guru.
Sedangkan Woolfolk (1984: 436) menjelaskan bahwa pengetahuan bahan ajar oleh guru adalah salah satu faktor yang dapat menentukan keberhasilan guru dalam pembelajaran. Oleh karena itu, agar guru berhasil dalam kegiatan pembelajaran, maka seorang guru harus menguasai bahan ajar yang akan diajarkan dengan sebaik-baiknya.
. Hal ini dipertegas oleh Hudoyo (1990: 16) bahwa penguasaan, bidang studi (bahan ajar), oleh guru akan sangat membantunya dalam me­ngajar, sebab mengajar adalah suatu proses mengkomunikasikan pengetahuan kepada peserta didik.
Dengan demikian, kemampuan seseorang dalam meng­komunikasikan pengetahuan sangat ber­gantung pada penguasaan pengetahuan yang akan dikomunikasikannya itu. Hal ini berarti bahwa dalam proses komunikasi dengan peserta didik, faktor penguasaan bidang studilah yang dapat memampukan guru dalam mengkomunikasikan bahan ajarnya.
Penguasaan bidang studi oleh guru akan tampak dalam perilaku nyata ketika ia mengajar. Penguasaan itu akan tampak pada kemampuan guru dalam men­jelaskan, mengorganisasikan bahan ajar, dan sikap guru. Semakin baik penguasaan bahan ajar oleh guru, maka kemampuan guru dalam menjelaskan dan mengorganisasikan bahan ajar juga se­makin baik. Dengan demikian kinerja guru, salah satunya dipengaruhi oleh penguasaan bahan ajar.
Guru yang kurang mantap pe­nguasaan bidang studi atau kurang yakin apa yang dikuasainya akan kehilangan kepercayaan diri bila berada dalam kelas, selalu ragu-ragu, dan tidak dapat mem­berikan jawaban yang tepat dan tuntas atas pertanyaan peserta didik. Hal ini akan berakibat kurang baik dalam mengajarkan bahan ajar, sebab akan merendahkan mutu pembelajaran dan dapat menimbulkan kesulitan pemahaman oleh peserta didik. Lebih dari itu, guru yang tidak menguasai bidang studi (bahan ajar) akan diremehkan oleh peserta didik.
Untuk dapat menguasai bahan ajar dengan mudah, guru perlu mem­perbanyak membaca, mempelajari, men­dalami, dan mengkaji bahan ajar yang ada dalam buku teks maupun buku pelajaran. Berdasarkan pada uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa kinerja guru, salah satunya dipengaruhi oleh penguasaan bahan ajar yang akan diajarkan. Penguasaan bahan ajar oleh guru adalah kemampuan yang dimiliki guru dalam menerapkan sejumlah fakta, konsep, prinsip dan ketrampilan untuk menye­lesaikan dan memecahkan soal-soal atau masalah yang berkaitan dengan pokok bahasan yang diajarkan.

2. Kemampuan Mengelola Pembelajaran
Menurut Uno (2006: 129) kemampuan merujuk pada kinerja seseorang dalam suatu pekerjaan yang dapat dilihat dari pikiran, sikap, dan perilakunya. Hal ini berarti kemampuan berhubungan dengan kinerja efektif dalam suatu pekerjaan. Sedangkan pengelolaan menunjuk kepada kegiatan-kegiatan yang menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses suatu kegiatan (Rohani HM, 2004: 123).
Pengertian pengelolaan dipertegas Djamarah (2005: 144) bahwa pengelolaan berhubungan dengan ketrampilan menciptakan dan memelihara kondisi yang optimal bagi terjadinya proses interaksi antar pihak yang terkait.
Sanjaya (2005: 150) menjelaskan bahwa salah satu tugas guru adalah mengelola sumber belajar untuk me­wujudkan tujuan belajar; sedangkan Usman (2002: 21), menjelaskan bahwa guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pem­belajaran. Kualitas pembelajaran, salah satunya dipengaruhi oleh kemampuan guru mengelola pembelajaran.
Menurut Woolfolk (1984: 436), keberhasilan guru dalam pem­belajaran, di samping ditentukan oleh pengetahuan guru tentang bahan ajar dan metode-metode mengajar juga ditentukan oleh pengelolalan kelas.
Oleh karena itu, kemampuan guru dalam mengelola pem­belajaran menjadi hal penting karena berkaitan langsung dengan aktivitas belajar siswa di kelas. Guru harus berupaya me­mikirkan dan membuat perencanaan se­cara seksama untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan kesempatan belajar bagi siswanya.
Mulyasa (2005: 69) menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan berbagai aspek yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Aspek-aspek yang saling berkaitan tersebut, antara lain: guru, siswa, bahan ajar, sarana pembelajaran, ling­kungan belajar. Sedangkan, Syafaruddin dan Nasution (2005: 110) menjelaskan bahwa mengorganisir dalam pembelajaran adalah pekerjaan yang dilakukan seorang guru dalam mengatur dan menggunakan sumber belajar dengan maksud mencapai tujuan belajar dengan cara efektif dan efisien.
Dengan demikian, jika dikaitkan dengan pengertian kemampuan mengelola pembelajaran yang telah dijelaskan di atas, maka salah tugas guru adalah meng­upayakan dan memberdayakan semua aspek yang terlibat dalam kegiatan pem­belajaran, yaitu: guru, siswa, bahan ajar, sarana pembelajaran, dan lingkungan belajar sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung efektif. Pernyataan tersebut dipertegas lagi oleh Usman (2002: 21) bahwa pengelolaan pembelajaran terkait dengan upaya guru untuk men­ciptakan kondisi pembelajaran yang efektif sehingga proses pembelajaran dapat ber­langsung, mengembangkan bahan ajar dengan baik, dan meningkatkan ke­mampuan siswa untuk memahami materi pelajaran sesuai dengan tujuan pem­belajaran yang harus mereka capai.
Kondisi pembelajaran yang efektif dapat tercapai jika guru mampu mengatur siswa dan sarana pembelajaran, mampu menjalin hubungan interpersonal dengan siswa serta mengendalikannya dalam suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kondisi pembelajaran yang efektif akan mempengaruhi kua­litas pelaksanaan pembelajaran. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kemampuan mengelola pem­belajaran merupakan upaya guru dalam mengelola pembelajaran selama proses pembelajaran berlangsung dengan dimensi: (1) menciptakan dan memelihara kondisi pembelajaran yang optimal, (2) melaksanakan kegiatan pembelajaran, (3) membina hubungan yang positif dengan siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
Upaya guru menciptakan dan meme­lihara kondisi pembelajaran meliputi indi­kator: (1) menunjukkan sikap tanggap, (2) memberi perhatian dan petunjuk yang jelas, (3) menegur/memberi ganjaran, (4) memberi penguatan, (5) mengatur ruangan belajar sesuai kondisi kelas; upaya guru melaksanakan kegiatan pem­belajaran meliputi indikator: (1) membuka pembelajaran, (2) melaksanakan pem­belajaran, (3) melakukan penilaian dan tindak lanjutnya terhadap kegiatan pem­belajaran, dan (4) menutup pembelajaran-, sedangkan upaya guru membina hubungan positif dengan siswa meliputi indikator: (1) membantu mengembangkan sikap positif pada diri siswa, (2) bersikap luwes dan terbuka terhadap siswa, (3) menunjuk­kan kegairahan dan kesungguhan dalam mengajar, dan (4) mengelola interaksi perilaku siswa di dalam kelas.

3. Komitmen Terhadap Tugas
Guru merupakan faktor yang pertama dan utama yang mempengaruhi pelak­sanaan kurikulum. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan kurikulum di sekolah harus diawali dengan adanya komitmen guru untuk menjalankan tugas yang aktif, kreatif dan inovatif. Menurut Karlof dan Ostblom (1994: 17), menjelaskan bahwa keberhasilan suatu pekerjaan tidak hanya ditentukan oleh ada­nya partisipasi atau keterlibatan seseorang tetapi juga dipengaruhi oleh adanya komit­men seseorang dalam menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Menurut Partanto & Al Barry (1994: 352) komitmen berkaitan dengan kesatuan janji dan kesepakatan bersama. Pengertian tersebut dapat dipahami bahwa komitmen merupakan pengaturan diri di dalam pe­kerjaan masing-masing atau keterikatan psikologis seseorang pada organisasi. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa komitmen berkaitan dengan kesediaan, kepedulian, ketertarikan dan keterlibatan atas sesuatu dengan penuh tanggung jawab.
Mulyasa (2003: 151) menjelaskan bahwa komitmen secara mandiri perlu dibangun pada setiap individu warga sekolah termasuk guru, terutama untuk menghilangkan setting pemikiran dan budaya kekakuan birokrasi, seperti harus menunggu petunjuk atasan dengan mengubahnya menjadi pemikiran yang kreatif clan inovatif.
Pernyataan Mulyasa tersebut dipertegas Syafaruddin & Nasution (2005: 154) yang menyatakan bahwa untuk memantapkan budaya mutu dalam menuju sekolah unggul perlu dibangun komitmen menanamkan dalam diri personil sekolah untuk mencapai tujuan. Hal ini me­nunjukkan bahwa komitmen merupakan suatu kesediaan untuk berpihak kepada sesuatu tugas yang didasari atas kreatifitas untuk mencapai suatu tujuan. Perasaan keberpihakan dan keterlibatan dalam tugas dapat diartikan sebagai unsur kebanggaan dan menyenangi sesuatu, rela berkorban dan bertanggung jawab.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dinyatakan bahwa komitmen adalah suatu keberpihakkan diri terhadap suatu pe­kerjaan atau tugas atas dasar loyalitas, tanggung jawab, dan keterlibatan secara psikologis dalam tugas, seperti ke­banggaan dan rela berkorban.
Komitmen tersebut dapat diraih me­lalui beberapa aktivitas, antara lain: (1) membangun arti penting tugas yang menjadi tanggung jawab, (2) menye­derhanakan berbagai tugas yang rumit, dan (3) berorientasi terhadap penyelesaian tugas. Tugas guru salah satunya adalah mengarahkan dan membimbing kegiatan belajar siswa sehingga siswa mau belajar (Osman, 2002: 21). Untuk itu, agar siswa cenderung aktif dalam kegiatan pem­belajaran maka guru harus dapat meng­arahkan dan membimbing kegiatan belajar siswa. Tugas pengarahan dan pem­bimbingan tersebut dapat terwujud, jika dalam diri guru tersebut ada dorongan dan komitmen untuk melakukannya.
Terkait dengan tugas guru tersebut, Timpe (1991: 177) menyatakan bahwa dasar komitmen adalah komunikasi dan peran serta. Adanya komunikasi dan peran guru ditentukan oleh komitmen guru itu sendiri. Untuk itu, diperlukan komitmen guru mewujudkan proses komunikasi dan peran guru dalam mengarahkan dan mem­bimbing kegiatan belajar siswa sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung efektif.
Ainsworth, Smith & Millership (2007: 134) mempertegas peran komitmen dalam mendukung keberhasilan suatu pekerjaan, bahwa jika mereka kurang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai dan arah strategis suatu organisasi maka mereka tidak pernah memiliki kinerja sesuai dengan harapan.
Berdasarkan pada uraian ter­sebut di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa komitmen terhadap tugas adalah keberpihakan se­orang guru secara psikologis dalam me­ngarahkan dan membimbing kegiatan belajar siswa sehingga kondisi pem­belajaran efektif, yang ditandai oleh: (1) ke­pedulian terhadap kesulitan belajar siswa, (2) partisipasi dalam membimbing kegiatan belajar siswa (secara individu dan ke­lompok), (3) menciptakan suasana pem­belajaran yang menyenangkan, (4) adanya kemauan yang tinggi dalam membelajarkan siswa, (5) tingkat kehadiran yang tinggi dan (6) memiliki tanggung jawab dalam tugas pembelajaran
3.      Pengembangan kinerja guru
Sebagai suatu organisasi, dalam Sekolah terdapat kerja sama kelompok orang (kepala sekolah, guru, Staf dan siswa) yang secara bersama-sama ingin mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Semua komponen yang ada di sekolah merupakan bagian yang integral, artinya walaupun dalam kegiatannya melakukan pekerjaan sesuai dengan fungsi masing-masing tetapi secara keseluruhan pekerjaan mereka diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi sekolah. Sebagai salah satu anggota Organisasi Sekolah, Tenaga pendidik/guru menduduki peran yang amat penting dalam proses pendidikan dan pembelajaran dalam mempersiapkan peserta didik untuk mencapai kompetensi-kompetensi yang telah ditetapkan
Sebagaimana diketahui, Salah satu bidang penting dalam Administrasi /Manajemen Pendidikan adalah berkaitan dengan Personil/Sumberdaya manusia yang terlibat dalam proses pendidikan, baik itu Pendidik seperti guru maupun tenaga Kependidikan seperti tenaga Administratif. Intensitas dunia pendidikan berhubungan dengan manusia dapat dipandang sebagai suatu perbedaan penting antara lembaga pendidikan/organisasi sekolah dengan organisasi lainnya, ini sejalan dengan pernyataan Sergiovanni, et.al (1987:134) yang menyatakan bahwa:
Perhaps the most critical difference between the school and most other organization is the human intensity that characterize its work. School are human organization in the sense that their products are human and their processes require the sosializing of humans”
ini menunjukan bahwa masalah sumberdaya manusia menjadi hal yang sangat dominan dalam proses pendidikan/pembelajaran, hal ini juga berarti bahwa mengelola sumberdaya manusia merupakan bidang yang sangat penting dalam melaksanakan proses pendidikan/pembelajaran di sekolah, dan diantara SDM tersebut yang paling berhubungan langsung dengan kegiatan pendidikan/pembelajaran adalah Guru, sehingga bagaimana kualitas kinerja Pendidik/Guru dalam proses pembelajaran akan memberikan dampak yang sangat besar bagi kualitas hasil pembelajaran, yang pada akhirnya akan menentukan pada kualitas lulusannya
Seorang guru mau menerima sebuah pekerjaan sebagai pendidik, jika ia mempersiapkan diri dengan kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut sesuai dengan yang dituntut oleh organisasi (sekolah). Dan dalam menjalankan perannya sebagai pendidik, kualitas kinerja mereka merupakan suatu kontribusi penting yang akan menentukan bagi keberhasilan proses pendidikan di Sekolah. Oleh karena itu perhatian pada pengembangan kinerja guru untuk terus meningkat dan ditingkatkan menjadi hal yang amat mendesak, apalagi apabila memperhatikan tuntutan masyarakat yang terus meningkat berkaitan dengan kualitas pendidikan, dan hal ini tentu saja akan berimplikasi pada makin perlunya peningkatan kualitas kinerja guru.
Pada hakikatnya kinerja guru adalah prilaku yang dihasilkan seorang guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar ketika mengajar di depan kelas, sesuai dengan kriteria tertentu. Kinerja seseorang Guru akan nampak  pada situasi dan kondisi kerja sehari-hari. Kinerja dapat dilihat dalam aspek kegiatan dalam menjalankan tugas dan cara/kualitas dalam melaksanakan kegiatan/tugas tersebut.
Dengan pemahaman mengenai konsep kinerja sebagaimana dikemukakan di atas, maka akan nampak jelas apa yang dimaksud dengan kinerja guru. Kinerja guru pada dasarnya merupakan kegiatan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pengajar dan pendidik di sekolah yang dapat menggambarkan mengenai prestasi kerjanya dalam melaksanakan semua itu, dan hal ini  jelas bahwa pekerjaan sebagai guru tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, tanpa memiliki keahlian dan kwalifikasi tertentu sebagai guru. Kinerja Guru dalam melaksanakan peran dan tugasnya di sekolah khususnya dalam proses pembelajaran dalam konteks sekarang ini memerlukan pengembangan dan perubahan kearah yang lebih inovatif, kinerja inovatif guru menjadi hal yang penting bagi berhasilnya implementasi inovasi pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan/pembelajaran.
Kinerja inovatif seorang guru dalam upaya mencapai proses belajar mengajar yang efektif dan fungsional bagi kehidupan seorang siswa jelas perlu terus dikembangkan. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dikaji berbagai faktor yang mungkin turut mempengaruhi kinerja seorang guru.
Upaya untuk memperbaiki secara terus menerus kualitas pembelajaran perlu menjadi suatu sikap profesional sebagai pendidik, ini berarti bahwa upaya untuk mengembangkan hal-hal yang inovatif mesti menjadi konsern guru dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan demikian, kreativitas dan kinerja inovatif menjadi amat penting, terlebih lagi dalam konteks globalisasi dewasa ini yang penunh dengan persaingan dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga Kinerja inovatif termasuk bagi guru perlu terus di dorong dan dikembangkan, terlebih lagi bila mengingat berbagai tuntutan perubahan yang makin meningkat.
 Dengan mengacu pada uraian tentang kinerja inovatif sebagaimana dikemukakan terdahulu, maka yang dimaksud kinerja inovatif (Innovative Performance) guru adalah kinerja yang dalam melaksanakannya disertai dengan penerapan hal-hal baru dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, ciri kinerja atau tugas-tugas yang harus dikerjakan menggambarkan ciri/feature atau kegiatan kinerja yang harus dilaksanakan oleh guru, sedangkan inovatif merupakan sifat yang menggambarkan kualitas bagaimana guru melaksanakan tugas dengan inovatif atau dengan memanfaatkan serta mengaplikasikan hal-hal baru, baik berupa ide, metode, maupun produk baru dalam melaksanakan pekerjaan guna meningkatkan kualitas pendidikan/pembelajaran
                Dengan pemahaman seperti itu, maka kinerja inovatif guru merupakan kinerja yang menerapkan hal-hal baru dalam meksanakan peran dan tugas yang diemban oleh guru tersebut, oleh karena itu, maka pemahaman kinerja inovatif guru perlu dilihat dalam konteks pelaksanaan tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan guru sebagai pendidik di sekolah

a.  Guru dalam proses Pembelajaran

Tenaga Pendidik di Perguruan Tinggi disebut Dosen, sementara tenaga Pendidik pada Pendidikan Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah di sebut Guru. Meskipun sama-sama sebagai Pendidikan namun peran dan fungsi mereka sedikit berbeda, hal ini tercermin dari pengertian keduanya yang tercantum dalam Undang-undang Guru dan Guru Nomor 14 tahun 2005. dalam Bab 1 Pasal 1 Undang-undang Guru  disebutkan sebagai berikut :
”Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”
Dari pengertian di atas nampak bahwa guru mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Dengan demikian peran guru sangat dominan dalam membentuk peserta didik menjadi manusia yang berkualitas.Upaya pemerintah untuk terus meningkatkan kemampuan tenaga pendidik termasuk Guru nampak menunjukan konsern yang makin meningkat, sertifikasi tenaga pendidik yang akan berdampak pada tambahan imbalan jelas akan cukup membantu dalam meningkatkan kinerja Guru/tenaga pendidik dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan.
Tanpa mengurangi dan meniadakan peran serta fungsi yang lain, kinerja guru sebagai pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai pendidik merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam keberhasilan pendidikan. Karena apapun tujuan-tujuan dan putusan-putusan penting tentang pendidikan yang dibuat oleh para pembuat kebijakan sebenarnya dilaksanakan dalam situasi belajar mengajar di kelas. Sementara itu tugas/kewajiban Guru menurut Undang-Undang No 14 tahun 2005 pasal 20 adalah sebagai berikut:
·         merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran
·          meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
·         bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, atau latar belakang keluarga dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran
·         menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
·         memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
kutipan  Undang-undang tersebut menunjukan bahwa kewajiban guru pada dsarnya merupakan kegiatan yang harus dilakukan guru dalam menjalankan peran dan tugasnya di sekolah, dimana aspek pembelajaran merupakan hal yang utama yang harus dilaksanakan oleh guru, disamping pengembangan profesional sebagai pendidik guna meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik serta sebagai fihak yang cukup dominan dalam proses pembelajaran.
Guru merupakan pekerjaan profesional yang memerlukan keahlian khusus sebagai pendidik/pengajar. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat lingkungannya dalam menyelesaikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dalam melaksanakan tugas tersebut, dengan mengingat tantangan pendidikan yang terus berubah, maka kenerja guru perlu dilakukan secara inovatif guna beradaptasi dan mengantisipasi perubahan masyarakat yang cepat serta berbagai kebijakan baru pemerintah dalam bidang pendidikan.
Meskipun pendekatan dalam pembelajaran dewasa ini menitik beratkan pada belajar siswa (student-centered learning), namun hal itu tidak berarti peran guru dalam proses pembelajaran menjadi tidak penting, bahkan dalam kenyataannya hal itu justru akan makin menuntut kemampuan guru untuk mendorong terjadinya belajar siswa melalui berbagai cara baru (inovasi) agar dalam mengelola pembelajaran dapat menciptakan situasi kondusif bagi berkembangnya belajar siswa secara optimal.
Dengan demikian, dalam proses pembelajaran/belajar mengajar, peran Guru amat penting dalam mewujudkan suasana belajar mengajar yang efektif bagi pencapaian tujuan pendidikan, secara sederhana dalam suatu kegiatan pendidikan/pembelajaran seorang Guru mempunyai tugas untuk melaksanakan perencanaan tentang apa dan bagaimana suatu proses pembelajaran, dengan rencana tersebut kemudian guru melaksanakan proses pembelajaran di kelas, dalam proses ini guru menentukan strategi, metoda, serta media pembelajaran yang digunakan guna menciptakan proses pembelajaran yang efektif dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana pembelajaran.



BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.    Rancangan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan riset lapangan, yaitu mencari dan mengumpulkan informasi tentang masalah yang dibahas dari lapangan (tempat melakukan penelitian tersebut). Peneliti juga menggunakan pendekatan deskriptif komparatif. Hal ini penulis gunakan mengingat variabel yang diteliti dan masalah yang dirumuskan, serta hipotesis yang diajukan mengarah pada bentuk deskriptif komparatif.
Ciri dari pendekatan deskriptif komparatif ini adalah digunakan untuk mendapatkan pemahaman tentang apakah ada perbedaan nilai suatu observasi (disebut variabel terikat atau dependen) berdasarkan klasifikasi subyek (disebut variabel bebas atau independen)",
Jadi penelitian ini akan melihat dampak perubahan kurikulum KBK ke KTSP sebagai Variabel bebas (X) terhadap kinerja guru SMAN 2 Kota Bima sebagai Variabel Terikat  (Y). Sehingga paradigma penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
 


Gambar 3.1 Paradigma Penelitian
(Sugiyono, 2004: 5)
X             : perubahan Kurikulum
Y              : Kinerja Guru





B.     Subyek Penelitian

1.      Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006:130). Ahli lain mendefinisikan
“Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya” (Sugiyono, 2006:116) Dan dalam KBBI, populasi didefinisikan sekelompok orang, benda, atau hal yang menjadi sumber pengambilan sampel.
Dari pendapat para ahli di atas, dapat dikatakan bahwa populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan guru sosiologi SMAN 2 Kota Bima yang berjumlah 9 Orang.
2.      Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. (Sugiyono, 2006:118). Di sisi lain dalam KBBI sampel didefinisikan sebagai sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan sifat suatu kelompok yang lebih besar. Teknik yang digunakan untuk mengambil sampel adalah acak sederhana untuk menentukan kelas yang menjadi anggota sampel dilakukan dengan cara undian, sehingga anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk menjadi anggota sampel. Dalam menentukan jumlah siswa yang menjadi sampel mengacu pada pendapat Arikunto (2006 : 134) bahwa “Apabila jumlah subjek lebih dari seratus orang, maka dapat diambil antara 10 – 15  % atau 20 – 25 % atau lebih dan ketika kurang dari seratus orang maka semuanya akan diambil menjadi sampel.
Penulis mengambil sampel guru IPS sosiologi yang telah mengabdi selama 8 tahun dikarenakan memiliki pengalaman mengenai pengetahuan yang berhubungan dengan pergantian kurikulum dari KBK ke KTSP. Oleh karena itu penulis mengambil jumlah sampel sebanyak 5 orang sesuai dengan hal  yang dipaparkan tersebut.
C.    Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data sangat dibutuhkan adanya instrumen  yang tepat dan relevan dengan jenis data yang ingin dicari. Adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan instrumen sebagai berikut :
1.       Angket
Angket adalah daftar pertanyaan yang setiap pertanyaan sudah disediakan jawabannya untuk dipilih, atau telah disediakan tempat untuk mengisi jawabannya". (Sumadi Suryabrata, 1993: 32) Metode angket dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana dampak perubahan kurikulum terhadap kinerja guru Sosiologi SMAN 2 Kota Bima.
Angket ini disusun berdasarkan skala nilai model likert. "Skala likert menurut Kinnear, yaitu cara mengukur secara sistematis dengan memberikan skor pada respon yang terjadi pada setiap pertanyaan. (Sumadi Suryabrata, 1993: 35).
Pemberian skor pada angket ini diatur secara beringkat dengan empat tahapan dengan pilihan :1)selalu,2)sering,3)Pernah,4)tidak pernah (sugiono, 1999) dan kemudian di konversi ke dalam nilai (skor) yakni  4 (selalu), 3(sering ),2 (pernah),1 (tidak pernah).
2.       Observasi
Observasi adalah tehnik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung terhadap subjek yang diteliti (Riyanto, 2001: 96). Dan menurut Arikunto, (1993:225), observasi adalah suatu usaha sadar yang dilakukan untuk mengupulkan data secara sistematis denga prosedur yang berstandar. Dalam KBBI observasi didefinisikan sebagai peninjauan secara cermat. Instrumen  ini digunakan untuk mengupulkan data melalui pengamatan secara langsung terhadap subjek yang diteliti dan hal-hal yang diamati.
3.       Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah dokumen, yang artinya barang-barang tertulis (Arikunto, 2002: 131). Dalam KBBI dokumentasi didefinisikan sebagai pemberian atau pengumpulan bukti dan keterangan seperti gambar, kutipan, guntingan koran, dan bahan referensi lain. Jadi dokumentasi adalah metode pengumpulan data yang dilakukan melalui barang tertulis seperti : catatan-catatan dokumen atau dokumen tertulis yang berkaitan dengan masalah yang menjadi   subyek penelitian peneliti. Metode ini digunakan peneliti untuk memperoleh dokumen atau data yang ada di SMAN 2 kota Bima.
D.     Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau metode yang digunakan dalam penelitian (Sugiyono; 2009). Adapun instrumen yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah angket/kuisioner dengan sejumlah item pertanyaan yang berkaitan dengan indikator penelitian:
Dalam penelitian kuantitatif, peneliti akan menggunakan instrumen untuk mengumpulkan data, sedangkan dalam penelitian kuantitatif peneliti akan lebih banyak menjadi instrumen, karena penelitian kualitatif peneliti merupakan key instrument.
Instrumen penelitian digunakan untuk mengukur variabel yang diteliti, sehingga jumlah instrumen yang akan digunakan untuk penelitian akan tergantung pada jumlah variabel yang diteliti. (Bila variabelnya 5 maka instrumen yang akan digunakan juga 5).
1.      Skala Pengukuran Instrumen
Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data kuantitatif.
Skala Likert yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat danpersepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena. Variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Jawaban setiap item instrumen yang menggunakan skala likert mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif. Untuk keperluan analsisi kuantitatif, jawaban itu dapat diberi skor (1 – 5 atau disesuaikan dengan kebutuhan).
Skala Instrumen yang digunakan adalah skala likert (alat untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau kelompok orang tentang fenomena sosial). Dengan skala likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item pernyataan atau pertanyaan.
Untuk keperluan analisis kuantitatif, maka jawaban dari item-item pertanyaan tersebut dapat diberi skor;
a.       Selalu                                            diberi skor       4
b.      Sering                                            diberi skor       3
c.       Pernah                                           diberi skor       2
d.      Tidak pernah                                 diberi skor       1
Adapum kisi-kisi angket/kuisioner tentang dampak perrubahan kurikulum KBK ke KTSP dalam meningkatkan kinerja guru :
Table 3.1 contoh table penilaian kinerja guru
No
Indicator
Descriptor
No soal
Pfh (%)
Pfh rata-rata
Tingkat perubahan











































E.     Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan langkah atau tahapan dalam melakukan penelitian. Ada beberapa tahap yang harus diteliti yaitu:
1)      Tahap Persiapan
a)      Peneliti mengajukan judul skripsi kepada ketua program studi Pendidikan Sosiologi pada STKIP Bima.
b)      Peneliti mengurus surat ijin penelitian yang akan diajukan pada SMAN 2 kota Bima.
2)      Tahap Pelaksanaan
a)      Peneliti melakukan observasi terhadap obyek yang ditentukan dalam mencatat hal-hal yang dapat melengkapi data dalam penelitian.
b)      Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan anket.
c)      Mengidentifikasi dari hasil intrumen penelitian secara sistematis
d)     Mengolah data
e)      Menganalisa data
3)      Tahap penyusunan laporan
a)      Menyusun laporan penelitian
b)      Menghadapi ujian skripsi
F.     Analisa Data

Menganalisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat diinformasikan pada orang lain. (Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, 1997: 334)
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kuantitatif. kuantitatif adalah suatu metode yang mengutamakan keterangan melalui angka–angka. Analisis dengan menggunakan deskriptif kuantitatif disini adalah menghitung data hasil pengaruh dukungan orang tua terhadap prestasi belajar siswa
Untuk mengetahui pengaruh analisis di lakukan dengan menggunakan persentase dengan menggunakan rumus :


 




Keterangan :
Pfh                                             : presentase perubahan kinerja guru
N                                                                : jumlah responden (keseluruhan sampel)
B. Maks                                    : skor maksimal ideal tiap angket
∑ skor                                       : jumlah skor
∑ M                                            : jumlah butir soal/descriptor


Hasil hitungan dari data nilai angket kemudian dikelompokkan berdasarkan descriptor kemudian dihitung presesntasenya berdasarkan rumus diatas dan di konversikan ke dalam kategori tertentu dengan menggunakan pedomen konversi seperti pada table berikut :
Table 3.1 interval kategori presentase perubahan kinerja guru
No
Presentase perubahan kinerja guru
Tingkat perubahan kinerja
1
80-100
Sangat berubah
2
61-79
Berubah
3
41-60
Cukup berubah
4
21-40
Kurang berubah
5
0-20
Sangat tidak berubah
Sumber : Tauhid Dalam Zaidun (2003)

1 komentar:

  1. ASALAMUALAIKUM SAYA INGIN BERBAGI
    CERITA KISAH SUKSES SAYA JADI PNS

    Assalamu Alaikum wr-wb, mohon maaf sebelum'nya saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS, saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi Pemerintan Manapun, saya sudah 7 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 2 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari tempat saya honor mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya 0853-2174-0123 dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk DR. HERMAN. M.SI No beliau selaku direktur aparatur sipil negara di bkn pusat Hp beliau 0853-2174-0123 siapa tau beliau masih bisa membantu anda. Wassalam....

    BalasHapus