BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan, salah satu kunci untuk menentukan
kualitas lulusan adalah kurikulum pendidikannya. Karena pentingnya maka setiap
kurun waktu tertentu kurikulum selalu dievaluasi untuk kemudian disesuaikan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi dan kebutuhan pasar.
Namun perubahan kurikulum tersebut jika dikaji dari segi proses pelaksanaannya,
saat sekarang ini sangatlah tidak efisien. Dapat dilihat dari ketidaksiapan
guru dalam mengaplikasikan sebuah kurikulum baru yang datang.
Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi
keberhasilan suatu pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit
untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan. Dalam sejarah
pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali diadakan perubahan dan perbaikan
kurikulum yang tujuannya sudah tentu untuk menyesuaikannya dengan perkembangan
dan kemajuan zaman, guna mencapai hasil yang maksimal.
Perubahan kurikulum didasari pada kesadaran bahwa perkembangan
dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni dan budaya. Perubahan
secara terus menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan
nasional, termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat yang
mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan.
Perubahan kurikulum yang terjadi di Indonesia dewasa ini
salah satu diantaranya adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri selalu
dinamis. Selain itu, perubahan tersebut juga dinilainya dipengaruhi oleh
kebutuhan manusia yang selalu berubah juga pengaruh dari luar, dimana secara
menyeluruh kurikulum itu tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh
prubahan iklim ekonomi, politik, dan kebudayaan. Sehingga dengan adanya
perubahan kurikulum itu, pada gilirannya berdampak pada kemajuan bangsa dan
negara. Kurikulum pendidikan harus berubah tapi diiringi juga dengan perubahan
dari seluruh masyarakat pendidikan di Indonesia yang harus mengikuti perubahan
tersebut, karena kurikulum itu bersifat dinamis bukan stasis, kalau kurikulum
bersifat statis maka itulah yang merupakan kurikulum yang tidak baik.
Dapat diambil pengertian, bahwa tujuan dari kurikulum
tersebut adalah untuk membuat kualitas pendidikan menjadi lebih baik dari
sebelumnya, akan tetapi hendaknya factor-faktor yang menyangkut dengan
kurikulum seperti, guru dan murid harus lah diperhatikan. Dari fenomena yang
dapat dilihat di lingkungan sekolah, dari perubahan kurikulum yang relative
singkat tersebut, baik guru maupun murid mengalami kesulitan dalam
mengaplikasikan kurikulum yang baru yang menuntut banyak perubahan, sedangkan
kurikulum sebelumnya belum dapat dilaksanakan dengan baik.
Pendidikan di negara kita ini sangatlah memprihatinkan jika
dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Korea Selatan, Singapora,
Jepang, Taiwan, India, China dan Malaysia ataupun negara-negara lain yang sudah
mengalami kemajuan yang sangat pesat pada bidang pendidikan. Pada satu sisi,
betapa dunia pendidikan di Indonesia saat ini dirundung masalah yang besar,
sedangkan pada sisi lain tantangan memasuki milenium ketiga tidak bisa dianggap
main-main.
Menurut
Sudarminta, SJ masalah yang dihadapi pada dunia pendidikan di Indonesia saat
ini meliputi :
1.
Mutu pendidikan kita masih rendah
2.
Sistem pembelajaran di sekolah-sekolah yang belum memadai
3.
Krisis moral yang melanda masyarakat Indonesia
Sedangkan
tantangan yang dihadapai agar tetap “hidup” memasuki milenium ketiga adalah
perlunya diupayakan :
1.
Pendidikan yang tanggap terhadap situasi persaingan dan kerjasama global.
2.
Pendidikan yang membentuk pribadi yang mampu belajar seumur hidup.
3.
Pendidikan yang menyadari sekaligus mengupayakan pentingnya pendidikan nilai.
Dengan kondisi pemerintah sekarang yang masih harus
menanggung beban krisis yang begitu berat, rasanya tidaklah tepat apabila kita
menunggu kebijakan dari pemerintah pusat untuk membenahi kondisi pendidikan
kita. Sehingga semua pihak yang bertanggung jawab atas kondisi dan sistem
pendidikan yang ada di negara kita hendaknya ikut memikirkan bagaimana caranya
agar pendidikan di Indonesia dapat mengalami kemajuan seperti negara-negara lain.
Berdasarkan uaraian diatas alangkah berdosanya kalau kita
sebagai guru tidak ikut bertanggung jawab atas sistem pendidikan di negara kita
tercinta ini. Di samping itu kita akan melihat kurikulum pendidikan di
Indonesia yang sudah beberapa tahun ini mengalami reformasi kurikulum yaitu
dari kurikulum tahun 1975, 1984, 1994, 2004 dan KTSP 2006 hingga sekarang.
Dalam pembahasan nanti kita akan melihat beban dan isi dari
masing-masing kurikulum tersebut, sehingga kita akan mengetahui kelemahan
ataupun kelebihan dari masing-masing kurikulum tersebut.
Bila kurikulumnya di desain dengan sistematis dan
komprehensif serta integral dengan segala kebutuhan pengembangan dan
pembelajaran anak didik, tentu out put pendidikan akan mampu mewujudkan
harapan. Tetapi bila tidak, kegagalan demi kegagalan akan terus menghantui
dunia pendidikan.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti mencoba
melakukan penelitian terhdap dampak perubahan kurikulum berbasis kompetensi ke
kurikulum tingkat satuan pendidikan dalam meningkatkan kinerja guru di SMAN 2
Kota Bima.
B.
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada dampak
perubahan kurikulum dari kurikulum berbasis kompetensi ke kurikulum tingkat
satuan pendidikan dalam meningkkatkan kinerja guru Di SMA negeri 2 Kota Bima?
C.
Tujuan
penelitian
Adapun tujuan penelitian yang
penulis angkat ini adalah untuk mengetahui dampak perubahan kurikulum dari KBK
ke KTSP dalam meningkkatkan kinerja guru di SMA 2 Kota Bima.
D.
Manfaat
penelitian
Berdasarkan tujuan penulisan diatas
maka diharapakan makalah ini dapat bermanfaat bagi;
- Bagi mahasiswa dapat dijadikan
rujukan untuk penelitian lebih lanjutnya.
- Masyarakat
Memberikan informasi yang bermanfaat
tentang kurikulum dan perubahannya yang ada di Indonesia dan pengaruh perubahan
kurikulum tersebut, bagi masyarakat pada umumnya
- Pembaca
Dapat menambah pengetahuan pembaca tentang
kurikulum dan dapat menjadi sumber informasi jika mencari informasi tentang
kurikulum yang ada di Indonesia.
- Penulis
Untuk menambah pengetahuan bagi
penulis tentang kurikulum dan perubahannya serta pengaruhnya bagi kinerja guru.
E.
Hipotesis
penelitian
Adapun hipotesis penelitian yang
coba penulis angkat adalah ada dampak perubahan kurikulum dari KBK ke KTSP
dalam meninggkatkan Kinerja Guru Di SMA 2 Kota Bima.
F.
Ruang
lingkup dan keterbatasan peneleitian
1. Ruang
Lingkup Penelitian
Agar
penelitian ini dapat berjalan dengan baik, maka ruang lingkup penelitian ini
perlu dibatasi pada:
a. Variabel bebas
Yang
menjadi variabel bebas
dalam peneitian ini kurikulum berbasis kompetensi dan
kurikulum tingkat satuan pendidikan.
b. Varibel terikat
Yang menjadi variabel terikat dalam penelitian
adalah kinerja guru di SMAN 2 Kota Bima.
2. Keterbatasan
Penelitian
Penelitian
ini terbatas pada dampak perubahan kurikulum KBK ke KTSP dalam meningkatkan
Kinerja guru Di SMAN 2 Kota Bima.
G.
Definisi
operasional variable
1. Kurikulum
adalah : seperangkat rencana dan pengaturan
yang mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara-cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu
2. Kinerja guru adalah : segala sesuatu
yang bersifat penerapan, pengaplikasian dan usaha yang dilakukan oleh guru
dalam upaya peningkatan kualitas mutu baik mutu pribadi atau profesionalitas,
mutu siswa atau hasil belajar maupun mutu sekolah atau prestasi sekolah.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Perubahan
KBK ke KTSP
1.
Pengertian
Berdasarkan pengertian kurikulum Tim PEKERTI-AA PPSP LPP
Universitas Sebelas Maret menyatakan “ Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan yang mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara-cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu” (2007:8).
Senada dengan Tim PEKERTI-AA PPSP LPP Universitas Sebelas
Maret, Print menjelaskan “curriculum is defined as all the planned learning opportunities
offered to learners bt the educational institution and the experiences learners
encounter when the curriculum is implemented” (1988:4). Dalam penjelasannya
Print menjelaskan bahwa kurikulum merupakan sebuah kesempatan dan tawaran bagi
para peserta didik yang ditawarkan oleh institusi pendidikan dan dari
pengalaman peserta didik sebelumnya saat kurikulum tersebut di implementasikan
Dalam hal ini Skillbeck menyatakan bahwa kurikulum digunakan
untuk acuan pengalaman pembelajaran siswa, dalam hal ini di perlihatkan dalam
pembentukan tujuan, rencana, dan rancangan untuk pembelajaran dan
pengimplementasian dari rencana-rencana tersebut dan rancangan dalam lingkungan
sekolah.
Eisner (1979) dalam Murray Print setuju bahwa “the
curriculum of a school, or a classroom can be conceived of as series of planned
events that are intended to have educational consequences for one ore more
students”. Eisner menjelaskan bahwa Kurikulum dari sebuah sekolah,
pembelajaran, kegiatan kelas dapat dipahami sebagai sebuah bagian-bagian dari
rancangan kegiatan yang dimaksudkan sebagai akibat dari pendidikan bagi satu
atau lebih dari siswa.
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa kurikulum adalah sebuah rancangan rencana pendidikan yang akan dijalani
oleh peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh
institusi tertentu.
2.
Fungsi
dan peranan kurikulum
1.
Fungsi
Kurikulum
Pada dasarnya
kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman atau acuan. Bagi guru, kurikulum itu
berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran. Bagi kepala
sekolah dan pengawas, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman dalam
melaksanakan supervisi atau pengawasan. Bagi orang tua, kurikulum itu berfungsi
sebagai pedoman dalam membimbing anaknya belajar di rumah. Bagi masyarakat,
kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan bantuan bagi
terselenggaranya proses pendidikan di sekolah. Bagi siswa sebagai subjek didik,
terdapat enam fungsi kurikulum sebagai berikut: (a) fungsi penyesuaian, (b)
fungsi integrasi, (c) fungsi diferensiasi, (d) fungsi persiapan, (e) fungsi
pemilihan, dan (f) fungsi diagnostik.
a. Fungsi
Penyesuaian.
Fungsi Penyesuaian mengandung makna bahwa kurikulum sebagai
alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifat well
adjusted yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan itu sendiri
senantiasa mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Karena itu, siswa
pun harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan
yang terjadi di lingkungannya.
b. Fungsi
Integrasi.
Fungsi Integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai
alat pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada
dasarnya merupakan anggota dan bagian integral dari masyarakat. Oleh karena
itu, siswa harus memiliki kepribadian yang dibutuhkan untuk dapat hidup dan
berintegrasi dengan masyarakatnya.
c. Fungsi
Diferensiasi.
Fungsi Diferensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai
alat pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan individu
siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik dari aspek fisik maupun psikis,
yang harus dihargai dan dilayani dengan baik.
d. Fungsi
Persiapan.
Fungsi Persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai
alat pendidikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke
jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, kurikulum juga diharapkan dapat
mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat seandainya karena
sesuatu hal, tidak dapat melanjutkan pendidikannya.
e. Fungsi
Pemilihan.
Fungsi Pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai
alat pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih
program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Fungsi
pemilihan ini sangat erat hubungannya dengan fungsi diferensiasi, karena
pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa berarti pula diberinya
kesempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa yang sesuai dengan minat
dan kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua fungsi tersebut,
kurikulum perlu disusun secara lebih luas dan bersifat fleksibel.
f. Fungsi Diagnostik
Fungsi
Diagnosti mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu
membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima kekuatan
(potensi) dan kelemahan yang dimilikinya. Jika siswa sudah mampu memahami
kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya, maka
diharapkan siswa dapat mengembangkan sendiri potensi kekuatan yang dimilikinya
atau memperbaiki kelemahan-kelemahannya.
- Peranan Kurikulum
Kurikulum
dalam pendidikan formal di sekolah/madrasah memiliki peranan yang sangat
strategis dan menentukan pencapaian tujuan pendidikan. Terdapat tiga peranan
yang dinilai sangat penting, yaitu: (a) peranan konservatif, (2) peranan
kreatif, dan (3) peranan kritis/evaluatif (Oemar Hamalik, 1990).
a. Peranan Konservatif.
Peranan ini menekankan bahwa kurikulum sebagai sarana untuk
mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih
relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para siswa. Dengan
demikian, peranan konservatif ini pada hakikatnya menempatkan kurikulum, yang
berorientasi ke masa lampau. Peranan ini sifatnya menjadi sangat mendasar,
disesuaikan dengan kenyataan bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan proses
sosial. Salah satu tugas pendidikan yaitu mempengaruhi dan membina perilaku
siswa sesuai dengan nilai-nilai sosial yang hidup di lingkungan masyarakatnya.
b. Peranan Kreatif.
Peranan ini menekankan bahwa kurikulum harus mampu
mengembangkan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan
kebutuhan- kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa mendatang.
Kurikulum harus mengandung hal-hal yang dapat membantu setiap siswa mengembangkan
semua potensi yang ada pada dirinya untuk memperoleh pengetahuan- pengetahuan
baru, kemampuan-kemampuan baru, serta cara berpikir baru yang dibutuhkan dalam
kehidupannya.
c. Peranan Kritis dan Evaluatif.
Peranan
ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang
hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan, sehingga pewarisan
nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu disesuaikan dengan kondisi
yang terjadi pada masa sekarang. Selain itu, perkembangan yang terjadi pada
masa sekarang dan masa mendatang belum tentu sesuai dengan apa yang dibutuhkan.
Karena itu, peranan kurikulum tidak hanya mewariskan nilai dan budaya yang ada
atau menerapkan hasil perkembangan baru yang terjadi, melainkan juga memiliki
peranan untuk menilai dan memilih nilai dan budaya serta pengetahuan baru yang
akan diwariskan tersebut. Dalam hal ini, kurikulum harus turut aktif
berpartisipasi dalam kontrol atau filter sosial. Nilai-nilai sosial yang tidak
sesuai lagi dengan keadaan dan tuntutan masa kini dihilangkan dan diadakan
modifikasi atau penyempurnaan-penyempurnaan. Ketiga peranan kurikulum di atas
tentu saja harus berjalan secara seimbang dan harmonis agar dapat memenuhi
tuntutan keadaan. Jika tidak, akan terjadi ketimpangan-ketimpangan yang
menyebabkan peranan kurikulum persekolahan menjadi tidak optimal. Menyelaraskan
ketiga peranan kurikulum tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak yang
terkait dalam proses pendidikan, di antaranya guru, kepala sekolah, pengawas,
orang tua, siswa, dan masyarakat. Dengan demikian, pihak-pihak yang terkait
tersebut idealnya dapat memahami betul apa yang menjadi tujuan dan isi dari
kurikulum yang diterapkan sesuai dengan bidang tugas masing-masing.
3.
kurikulum Di Indonesia
1. Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada
masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya
rencana pelajaran, lebih popular dibandingkan dengan curriculum (bahasa
Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi
pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan
Pancasila. Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950.
Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari
Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam
pengajarannya, ditambah garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947
mengurangi pendidikan pikiran. Hal yang diutamakan adalah pendidikan watak,
kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan
kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2. Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap
mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata
pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata
Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika
itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau
Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan
moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok
bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan),
dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan
fungsional praktis.
3. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat
politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde
Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968
menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan
Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968
sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,”
katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan
permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang
tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan
4. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada
tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi
adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective)
yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan
SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan
pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan
pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK),
materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang
akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
5. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process
skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap
penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”.
Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting
dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala
Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta —
sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok
secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan,
mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional.
Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah
suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada
tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah.
Penolakan CBSA bermunculan.
6. Kurikulum 1994 dan Suplemen
Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada
upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan
antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata
Mudjito menjelaskan. Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik
bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat.
Dari muatan nasional hingga lokal.
Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya
bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai
kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu
masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum
super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen
Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
7. Kurikulum 2004
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa.
Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa,
yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan
ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih
banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar
pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru diujicobakan, di sejumlah sekolah
kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan
KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya
kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)
8. KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan.
Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat.
Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh
siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004.
Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk
merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta
kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan kerangka dasar (KD), standar
kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap
mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus
dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah
koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
4.
Sejarah Berubahnya Kurikulum Di
Indonesia
Seperti yang telah paparkan
sebelumnya bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Banyak pertanyaan yang terlontar dari berbagai kalangan “Mengapa kurikulum di
negara kita sering berubah? ”. Dan banyak juga pernyataan yang merupakan
jawaban sinis dari pertanyaan di atas, ”Biasa, ganti Menteri Pendidikan, ya
ganti kurikulumnya”. Benarkah demikian ?
Penulis menganalisa secara global
tentang perjalanan sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia. Dalam perjalanan
sejarah sejak Indonesia merdeka, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami
perubahan berturut-turut, yaitu pada tahun 1947, tahun1952, tahun1964,
tahun1968, tahun1975, tahun1984, tahun1994, dan tahun2004, serta yang terbaru
adalah kurikulum tahun 2006. Dinamika tersebut merupakan konsekuensi logis dari
terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan IPTEK dalam
masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat
rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan
perubahan yang terjadi di masyarakat. Namun yang jelas, perkembangan semua
kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila
dan UUD 1945. Sedangkan perbedaannya terletak pada penekanan pokok dari
tujuan pendidikan serta pendekatan dalam mengimplementasikannya.
Dimulai pada tahun 1947, saat itu
kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial
Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya.
Rentjana Peladjaran 1947 (sebutan kurikulum saat itu) merupakan pengganti
sistem pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa
saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan maka pendidikan sebagai
development conformism (pelaku pembaharuan) lebih menekankan pada pembentukan
karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa
lain di muka bumi ini.
Pada tahun 1952, kurikulum di
Indonesia mengalami penyempurnaan, dengan menggunakan sebutan Rentjana
Peladjaran Terurai 1952.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Ciri yang paling menonjol dalam kurikulum 1952 adalah setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Ciri yang paling menonjol dalam kurikulum 1952 adalah setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Menjelang tahun 1964, dilakukan
kembali penyempurnaan sistem kurikulum di Indonesia, yang hasilnya dinamakan
Rentjana Pendidikan 1964.
Yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah penekanan pada pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional / artistik, keprigelan, dan jasmani.
Yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah penekanan pada pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana, yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional / artistik, keprigelan, dan jasmani.
Dari Kurikulum 1964 diperbaharui
menjadi kurikulum 1968, dalam hal ini terjadi perubahan struktur
kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa Pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penekanan dalam Kurikulum 1968, pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik.
Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penekanan dalam Kurikulum 1968, pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik.
Sebagai pengganti kurikulum 1968
adalah kurikulum 1975. Dalam kurikulum ini menggunakan pendekatan
Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), mengarah kepada tercapainya
tujuan spesifik, yang dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku
siswa. Dalam pelaksanaannya banyak menganut psikologi tingkah laku dengan
menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill).
Menjelang tahun 1983, kurikulum 1975
dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan
perkembangan IPTEK. Sehingga dipertimbangkan untuk segera ada perubahan. Karena
itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 dengan
kurikulum 1984.
Kurikulum 1984 berorientasi kepada
tujuan instruksional, didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman
belajar kepada siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus
benar-benar fungsional dan efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau
menentukan bahan ajar, yang pertama harus dirumuskan adalah tujuan apa yang
harus dicapai siswa.
Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor
Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral yakni pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.
Pendekatan pengajarannya berpusat pada anak didik melalui Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA adalah pendekatan pengajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif terlibat secara fisik, mental, intelektual, dan emosional dengan harapan siswa memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor
Materi pelajaran dikemas dengan menggunakan pendekatan spiral yakni pendekatan yang digunakan dalam pengemasan bahan ajar berdasarkan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Semakin tinggi kelas dan jenjang sekolah, semakin dalam dan luas materi pelajaran yang diberikan.
Pada tahun 1993, disinyalir bahwa
pada kurikulum 1984, proses pembelajaran menekankan pada pola pengajaran yang
berorientasi pada teori belajar mengajar yang kurang memperhatikan muatan
pelajaran, sehingga lahirlah sebagai penggantinya adalah kurikulum1994.
Ciri-ciri yang menonjol dari
pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya adalah pembagian tahapan pelajaran di
sekolah dengan sistem caturwulan Pembelajaran di sekolah lebih menekankan
materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).
Dalam pelaksanaan kegiatan, guru harus memilih dan menggunakan strategi yang
melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial.
Untuk mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada
jawaban konvergen, divergen dan penyelidikan. Dan dalam pengajaran suatu mata
pelajaran harus menyesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan
perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian
antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang
menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
Selama dilaksanakannya kurikulum
1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan
kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya adalah
beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya
materi/substansi setiap mata pelajaran. Hal ini mendorong para pembuat
kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya
penyempurnaan adalah diberlakukannya Suplemen Kurikulum 1994.
Usaha pemerintah maupun pihak swasta
dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar
siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan
kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran. Dengan dilaksanakannya UU
No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, sehingga sebagai konsekuensi
logis harus terjadi juga perubahan struktural dalam penyelenggaraan pendidikan,
maka bersamaan dengan hal tersebut terjadilah perubahan lagi pada kurikulum
pendidikan.
Kurikukum yang dikembangkan pada
tahun 2004 diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidikan berbasis
kompetensi menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan
(kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standard performan yang telah
ditetapkan. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan mengacu pada upaya
penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang telah
ditentukan. Implikasinya adalah perlu dikembangkan suatu KBK sebagai pedoman
pembelajaran.
Sejalan dengan visi pendidikan yang
mengarahkan pada dua pengembangan yaitu untuk memenuhi kebutuhan masa kini dan
kebutuhan masa datang, maka pendidikan di sekolah dititipi seperangkat misi
dalam bentuk paket-paket kompetensi.
Kompetensi merupakan pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus
menerus dapat memungkinkan seseorang untuk menjadi kompeten, dalam arti
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan
sesuatu. Dasar pemikiran untuk menggunakan konsep kompetensi dalam kurikulum
adalah sebagai berikut :
·
Kompetensi
berkenaan dengan kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks.
·
Kompetensi
menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten.
·
Kompeten
merupakan hasil belajar yang menjelaskan hal-hal yang dilakukan siswa setelah
melalui proses pembelajaran.
·
Kehandalan
kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas
dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur.
KBK
berorientasi pada:
·
Hasil
dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian
pengalaman belajar yang bermakna.
·
Keberagaman
yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya.
KBK memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
·
Menekankan
pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
·
Berorientasi
pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
·
Penyampaian
dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
·
Sumber
belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi
unsur edukatif.
·
Penilaian
menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian
suatu kompetensi.
·
Struktur
kompetensi dalam KBK dalam suatu mata pelajaran memuat rincian kompetensi dasar
mata pelajaran itu dan sikap yang diharapkan dimiliki siswa.
·
Struktur
kompetensi dasar KBK ini dirinci dalam komponen aspek, kelas dan semester.
Keterampilan dan pengetahuan dalam setiap mata pelajaran, disusun dan
dibagi menurut aspek dari mata pelajaran tersebut.
·
Pernyataan
hasil belajar ditetapkan untuk setiap aspek rumpun pelajaran pada setiap level.
·
Perumusan
hasil belajar adalah untuk menjawab pertanyaan, Apa yang harus siswa ketahui
dan mampu lakukan sebagai hasil belajar mereka pada level ini?.
·
Hasil
belajar mencerminkan keluasan, kedalaman, dan kompleksitas kurikulum dinyatakan
dengan kata kerja yang dapat diukur dengan berbagai teknik penilaian.
·
Setiap
hasil belajar memiliki seperangkat indikator.
·
Perumusan
indikator adalah untuk menjawab pertanyaan, Bagaimana kita mengetahui bahwa
siswa telah mencapai hasil belajar yang diharapkan?.
Guru akan menggunakan indikator
sebagai dasar untuk menilai apakah siswa telah mencapai hasil belajar seperti
yang diharapkan. Indikator bukan berarti dirumuskan dengan rentang yang sempit,
yaitu tidak dimaksudkan untuk membatasi berbagai aktivitas pembelajaran siswa,
juga tidak dimaksudkan untuk menentukan bagaimana guru melakukan penilaian.
Misalkan, jika indikator menyatakan bahwa siswa mampu menjelaskan konsep atau
gagasan tertentu, maka ini dapat ditunjukkan dengan kegiatan menulis,
presentasi, atau melalui kinerja atau melakukan tugas lainnya.
Yang paling mutahir adalah KTSP,
Untuk menghindari dampak negatif yang kemungkinan terjadi seperti diuraikan di
atas, perlu disosialisasikan secara luas dan benar esensi KTSP dan potensi
dampak positif yang akan dihasilkannya di dalam praktik pendidikan di lapangan.
Sikap kritis terhadap ide pembaharuan pendidikan memang perlu dikembangkan,
tetapi harus disertai dengan sikap keterbukaan (open mindedness) dan
keobjektifan di dalam menilai ide pembaruan tersebut. Agar kesetimbangan
penyikapan ini dapat terjadi diperlukan penajaman yang cukup komprehensif,
dengan mengedepankan sisi-sisi positif secara berimbang dengan potensi resiko
yang dapat ditimbulkannya terutama bila ide pembaharuan tersebut tidak dipahami
secara benar.
Ada beberapa hal yang dapat kita
jadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi kebijakan Pemerintah
tentang KTSP tersebut :
1. Secara substansial nuansa reformasi
kurikulum tidak mampu memaknai otonomi pendidikan yang sebenarnya. Reformasi
setengah hati ini malah membingungkan pemangku kepentingan pendidikan,
jangankan menyusun kurikulum, menjalankan kurikulum yang sudah adapun sulitnya
setengah mati. Oleh karena itu, tepatlah orang melabeli KTSP sebagai kurikulum
tidak siap pakai.
2. Buaian sentralistik pendidikan yang
selama ini terjadi telah menjadi virus yang mengerdilkan ide dan kreativitas
satuan pendidikan dalam memberdayakan potensi dirinya. Penyakit ini telah coba
diatasi dengan berbagai upaya oleh pemerintah. Misalnya, saat pemerintah pusat
tercengang dengan minimnya pergulatan kreativitas sekolah, dikumandangkanlah
paradigma otonomi pendidikan melalui manajemen berbasis sekolah. Kenyataannya,
institusi prasyarat manajemen berbasis sekolah seperti dewan pendidikan dan
komite sekolah hanya hiasan struktur organisasi. Bukan sebagai alat vital
organisasi. Mereka tak berdaya karena ketidaktahuan dan kebiasaan
ketergantungan. Maklumlah, di Indonesia sistem manajemen pendidikan tak
sefundamental kurikulum dan ujian. Lain halnya kebijakan try and error yang
menyangkut kurikulum.
3. Sudah rahasia umum, pendidikan
keguruan di negeri ini tidak pernah menyiapkan guru dan sekolah menjadi
pengembang kurikulum. Sementara dalam KTSP guru harus mampu menafsirkan standar
kompetensi dan kompetensi dasar menjadi indikator dan materi pembelajaran,
sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmoni
pembelajaran yang efektif dan efisien. Paradoks KTSP dan kesiapan guru bisa
menjadi musibah nasional pendidikan. Musibah intelektual ini sulit di-recovery
dan butuh waktu relatif lama, apalagi jika dikaitkan dengan konteks global
jelas terjadi ironi. Globalisasi memaksa terjadinya variasi dan dinamika sumber
pengetahuan. Dulu guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Sejalan dengan
globalisasi, guru bukan satu-satunya lagi sumber pengetahuan. Siswa memiliki
peluang mengakses informasi dari berbagai sumber, dikenallah istilah on-line
learning.
4. KTSP menghadapi tantangan besar
terkait keterpaduan informasi lokal, nasional, dan internasional. Kemampuan
memadukan ini hanya bisa dilakukan oleh sumber daya yang memang disiapkan
jauh-jauh hari, bukan oleh guru yang disiapkan secara instan melalui berbagai
program pendampingan pengembangan kurikulum. Lebih berbahaya lagi jika sekolah
akhirnya menjiplak panduan yang ditawarkan Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP). Tujuan mulia KTSP pada akhirnya hanya akan melahirkan sekolah-sekolah
’kurung batok’, instan, dan kerdil kreativitas.
Sekedar untuk digaris bawahi bahwa
secara substansial, pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan
tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan
tercapainya paket-paket kompetensi, yaitu :
·
Menekankan
pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
·
Berorientasi
pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
·
Penyampaian
dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
·
Sumber
belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi
unsur edukatif.
·
Penilaian
menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian
suatu kompetensi.
·
Terdapat
perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya,
bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikan sesuai
karakteristik Satuan Pendidikan dan keberadaannya, dengan mengacu pada
standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi, struktur
dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan
silabus dan Rancangan Pelaksanaan Pembelajarannya.
B.
Kinerja
guru
1.
Pengertian
Istilah Kinerja
berasal dari kata job performane atau actual performance (prestasi kerja atau
prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Menurut Mangkunegara
“kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya”.
Kinerja merupakan
terjemahan dari bahasa Inggris work performance atau job performance. Kinerja
dalam bahasa Indonesia disebut juga prestasi kerja. Kinerja atau prestasi kerja
diartikan sebagai ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap,
keterampilan dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu. Masalah kinerja selalu
mendapat perhatian dalam manajemen karena sangat berkaitan dengan produktivitas
lembaga atau organisasi. Hal ini sebagaimana pendapat Keith Davis bahwa faktor
yang dapat mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (abality)
dan faktor motivasi (motivation) atau dengan kata lain, “performance = abality
+ motivation”.
Seperti diketahui banyak orang yang mampu
bekerja tetapi tidak mempunyai motivasi untuk melaksanakan sesuatu maka tidak
menghasilkan kinerja, demikian juga bayak orang yang termotivasi tetapi tidak
mampu melaksanakan suatu pekerjaaan, maka juga tidak menghasilkan kinerja
apa-apa. Kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan
atau kemampuan bekerja, dengan kata lain kinerja dapat diartikan sebagai
prestasi kerja.
Kinerja atau performance merupakan hasil kerja
yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi,
sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya
mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan
sesuai dengan moral maupun etika. Kinerja individu adalah dasar kinerja
organisasi, dan untuk memaksimalkan kinerja masing-masing individu, berhubungan
dengan perilaku individu.
Samsudin (2006:159) memberikan pengertian kinerja sebagai tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai seseorang dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan Nawawi (2005:234) memberikan pengertian kinerja sebagai hasil pelaksanaan suatu pekerjaan.
Samsudin (2006:159) memberikan pengertian kinerja sebagai tingkat pelaksanaan tugas yang dapat dicapai seseorang dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan Nawawi (2005:234) memberikan pengertian kinerja sebagai hasil pelaksanaan suatu pekerjaan.
Pengertian tersebut memberikan pemahaman bahwa
kinerja merupakan suatu perbuatan atau perilaku seseorang yang secara langsung
maupun tidak langsung dapat diamati oleh orang lain.
Di pihak lain, Gibson, et al. (2006: 149), dan
Hersey & Blanchard (1993: 5), mendefinisikan kinerja sebagai tingkat keberhasilan
yang dinyatakan dengan fungsi dari motivasi dan kemampuan. Sedangkan, Mulyasa
(2004:136) mendefinisikan kinerja sebagai prestasi kerja, pelaksanaan kerja,
pencapaian kerja, hasil kerja atau unjuk kerja.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di
atas, dapat dinyatakan bahwa kinerja merupakan prestasi yang dicapai oleh
seseorang dalam melaksanakan tugasnya atau pekerjaannya selama periode tertentu
sesuai standar dan kriteria yang telah ditetapkan untuk pekerjaan tersebut.
Untuk mengetahui prestasi yang telah dicapai oleh seseorang dalam suatu
organisasi perlu dilakukan penilaian kinerja.
Evaluasi kinerja (performance evaluation) juga
dikenal dengan penilaian kinerja (performance appraisal), yaitu suatu aktivitas
untuk menentukan keberhasilan pegawai dalam melakukan suatu pekerjaan dengan
hasil yang baik (Ivancevich, 2007: 253). Untuk memudahkan penilaian kinerja
diperlukan indikator-indikator kinerja yang jelas. Rivai dan Basri (2005:17)
menjelaskan faktor-faktor yang menandai kinerja seseorang, antara lain: (1) kebutuhan
yang ingin dibuat, (2) tujuan khusus, (3) kemampuan, (4) komitmen, (5)
perhatian pada setiap kegiatan, (6) usaha, (7) ketekunan, (8) ketaatan, (9) kesediaan
untuk berkorban, dan (10) memiliki standar yang jelas.
Penilaian kinerja dapat juga dilakukan melalui
fungsi interaksi dari beberapa faktor yang didefinisikan mempengaruhi kualitas
dan kuantitas kinerja. Ainsworth, Smith & Millership (2007: 5). menjelaskan
bahwa kinerja merupakan hasil akhir dari persamaan kemampuan (A), dengan
motivasi (M), sedangkan Robbins (1996: 219) memberikan definisi kinerja
sebagai fungsi dari kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M)
dan kesempatan atau opportunity (0), atau kinerja = f(A,M,O).
Formulasi kinerja tersebut menunjukkan bahwa
kinerja merupakan hasil interaksi antara kemampuan, motivasi dan kesempatan
seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Untuk menyelesaikan tugas atau
pekerjaan tertentu maka seseorang harus memiliki tingkat kesediaan dan
kemampuan yang mendukung penyelesaian perkerjaan tersebut.
Kesediaan seseorang untuk mengerjakan sesuatu
tidaklah efektif tanpa didukung oleh pemahaman yang jelas tentang apa yang akan
dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Dengan demikian, aspek kemampuan dan
kesediaan seseorang secara bersama-sama akan berpengaruh terhadap
kinerjanya.Dalam implementasi penyelesaian tugas, seseorang tidak sekedar memerlukan
motivasi, tetapi lebih menuntut komitmen seseorang dalam menjalankan tugas yang
menjadi tanggung-jawabnya. Komitmen berkaitan dengan kesediaan, kepedulian,
ketertarikan atas sesuatu dengan penuh tanggung jawab.
Oleh karena itu, komitmen menjalankan tugas
dinyatakan sebagai salah satu kemampuan yang digunakan untuk mengukur kinerja
guru. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kinerja seseorang terhadap pekerjaan
tertentu dalam kurun waktu tertentu dapat diukur berdasarkan kemampuan dan
komitmen dalam menjalankan tugas. Kemampuan yang terkait dengan tugas guru
adalah pengusaan terhadap bahan ajar yang akan diajarkan dan kemampuan
mengelola proses pembelajaran.
Dengan demikian kinerja lebih berkonotasi pada
sejauhmana seseorang melakukan aktifitas baik yang berkenaan dengan tugas dan
kewajiban yang sesuai dengan tingkat kompetensi yang dikuasainya atau dengan
kata lain kinerja sebagai perilaku lebih banyak dimotori dan koordinasikan oleh
sejumlah pengetahuan maupun informasi yang dikuasai seseorang dalam
melaksanakan kegiatan sesuai dengan tuntutan tugasnya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja guru adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seorang guru di lembaga pendidikan atau madrasah sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan kata lain, hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhannya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kinerja guru adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seorang guru di lembaga pendidikan atau madrasah sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan kata lain, hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhannya.
2. Kinerja
Guru dalam pembelajaran
Menurut Sanjaya (2005:13-14), kinerja guru berkaitan
dengan tugas perencanaan, pengelolalan pembelajaran dan penilaian hasil
belajar siswa. Sebagai perencana, maka guru harus mampu mendesain pembelajaran
yang sesuai dengan kondisi di lapangan, sebagai pengelola maka guru harus mampu
menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif sehingga siswa dapat belajar
dengan balk, dan sebagai evaluator maka guru harus mampu melaksanakan
penilaian proses dan hasil belajar siswa.
Lebih lanjut Brown dalam Sardiman (2000: 142)
menjelaskan tugas dan peranan guru, antara lain: menguasai dan mengembangkan
materi pelajaran, merencanakan dan mempersiapkan pelajaran sehari-hari,
mengontrol dan mengevaluasi kegiatan belajar siswa.
Pembelajaran sebagai wujud dari kinerja guru,
maka segala kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru harus menyatu, menjiwai,
dan menghayati tugas-tugas yang relevan dengan tingkat kebutuhan, minat, bakat
dan tingkat kemampuan peserta didik serta kemampuan guru dalam mengorganisasi
materi pembelajaran dengan penggunaan ragam teknologi pembelajaran yang
memadai.
Menurut Silverius (2003: 97), guru adalah tokoh
sentral pendidikan dalam upaya menyiapkan kader bangsa di masa depan, kunci
sukses reformasi pendidikan. Di antara beberapa faktor yang mempengaruhi
proses dan hasil belajar siswa, faktor guru mendapat perhatian yang pertama
clan utama, karena baik-buruknya pelaksanaan suatu kurikulum pada akhirnya
bergantung pada aktivitas dankreativitas guru dalam menjabarkan dan
merealisasikan arahan kurikulum tersebut. Oleh karena itu, guru harus
profesional dalam menjalankan tugasnya
Syafaruddin dan Nasution (2003: 97),
menjelaskan guru profesional yang bertugas mengajar di sekolah memerlukan
keahlian khusus. Sebagai kegiatan yang berkaitan dengan pembinaan potensi anak
yang sedang mengalarni perkembangan, maka guru harus benar-benar ahli dalam
tugasnya. Sedangkan Nurdin (2005: 22), menjelaskan seorang guru profesional
harus memahami apa yang diajarkannya dan menguasai bagaimana mengajarkannya
Pembelajaran menurut Hudoyo (1979: 25),
menjelaskan bahwa tugas guru sebagai pelaksana kurikulum harus memahami empat
pertanyaan kurikulum, yaitu mengapa, apa, bagaimana dan kepada siapa
topik-topik harus diajarkan? Pertanyaan pertama, mengapa topik-topik harus
diajarkan, berkaitan dengan pemahaman guru tentang kegunaan dan hakekatnya.
Pertanyaan kedua, apa yang akan diajarkan, berkaitan dengan penguasaan guru
terhadap bahan ajar yang akan diajarkan. Pertanyaan ketiga, bagaimana
mengajarkan, berkaitan dengan penguasaan guru tentang strategi pembelajaran,
dan pertanyaan keempat, kepada siapa bahan ajar diajarkan berkaitan dengan
pemahaman guru tentang karakteristik siswa yang belajar.
Uraian teoretis di atas memberikan arahan bahwa
tugas guru dalam pembelajaran menuntut penguasaan bahan ajar yang akan
diajarkan dan penguasaan tentang bagaimana mengajarkan bahan ajar yang menjadi
pilihan. Pemilihan bahan ajar dan strategi pembelajaran yang akan digunakan
dalam pembelajaran oleh guru tentunya disesuaikan dengan karakteristik siswa
yang akan belajar dan kurikulum yang berlaku.
Agar guru dapat mengajar dengan baik, maka
syarat pertama yang harus dimiliki adalah menguasai betul dengan cermat dan
jelas apa-apa yang hendak diajarkan. Seorang guru yang tidak menguasai bahan
ajar, tidak mungkin dapat mengajar dengan baik kepada para siswanya. Oleh
karena itu, penguasaan bahan ajar merupakan syarat essensial bagi guru. Hal
penting dalam pembelajaran setelah guru menguasai bahan ajar adalah peran guru
dalam mengelola pembelajaran.
Pengelolaan pembelajaran menjadi hal penting
karena berkaitan langsung dengan aktivitas belajar siswa. Upaya guru untuk
menguasai bahan ajar yang akan diajarkan, merencanakan dan melaksanakan
kegiatan pembelajaran dengan optimal dapat terwujud jika dalam diri guru
tersebut ada dorongan dan tekad yang kuat (komitmen) untuk menjalankan tugasnya
dengan baik.
Dengan demikian, untuk mendapatkan proses dan
hasil belajar siswa yang berkualitas tentu memerlukan kinerja guru yang
maksimal. Agar guru dapat menunjukkan kinerjanya yang tinggi, paling tidak
guru tersebut harus memiliki penguasaan terhadap materi apa yang akan diajarkan
dan bagaimana mengajarkannya agar pembelajaran dapat berlangsung efektif dan
efisien serta komitmen untuk menjalankan tugas-tugas tersebut
Berdasarkan pada uraian di atas, maka kinerja
guru dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan seorang guru secara keseluruhan
dalam periode waktu tertentu yang dapat diukur berdasarkan tiga indicator
yaitu: penguasaan bahan ajar, kemampuan mengelola pembelajaran dan komitmen
menjalankan tugas. Berikut ini secara berturut-turut ketiga indicator tersebut
dibahas secara teoretik.
1. Penguasaan Bahan Ajar
Halsey (1994: 148) menyatakan bahwa syarat
pertama agar berhasil dalam mengajar ialah menguasai betul dengan cermat dan
jelas apa-apa yang hendak diajarkan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Nurdin
(2005: 80) bahwa penguasaan bahan ajar yang akan diajarkan adalah mutlak
dimiliki dan dikuasai oleh setiap guru.
Sedangkan Woolfolk (1984: 436) menjelaskan
bahwa pengetahuan bahan ajar oleh guru adalah salah satu faktor yang dapat
menentukan keberhasilan guru dalam pembelajaran. Oleh karena itu, agar guru
berhasil dalam kegiatan pembelajaran, maka seorang guru harus menguasai bahan
ajar yang akan diajarkan dengan sebaik-baiknya.
. Hal ini dipertegas oleh Hudoyo (1990: 16)
bahwa penguasaan, bidang studi (bahan ajar), oleh guru akan sangat membantunya
dalam mengajar, sebab mengajar adalah suatu proses mengkomunikasikan
pengetahuan kepada peserta didik.
Dengan demikian, kemampuan seseorang dalam mengkomunikasikan
pengetahuan sangat bergantung pada penguasaan pengetahuan yang akan
dikomunikasikannya itu. Hal ini berarti bahwa dalam proses komunikasi dengan
peserta didik, faktor penguasaan bidang studilah yang dapat memampukan guru
dalam mengkomunikasikan bahan ajarnya.
Penguasaan bidang studi oleh guru akan tampak
dalam perilaku nyata ketika ia mengajar. Penguasaan itu akan tampak pada
kemampuan guru dalam menjelaskan, mengorganisasikan bahan ajar, dan sikap
guru. Semakin baik penguasaan bahan ajar oleh guru, maka kemampuan guru dalam
menjelaskan dan mengorganisasikan bahan ajar juga semakin baik. Dengan
demikian kinerja guru, salah satunya dipengaruhi oleh penguasaan bahan ajar.
Guru yang kurang mantap penguasaan bidang
studi atau kurang yakin apa yang dikuasainya akan kehilangan kepercayaan diri
bila berada dalam kelas, selalu ragu-ragu, dan tidak dapat memberikan jawaban
yang tepat dan tuntas atas pertanyaan peserta didik. Hal ini akan berakibat
kurang baik dalam mengajarkan bahan ajar, sebab akan merendahkan mutu
pembelajaran dan dapat menimbulkan kesulitan pemahaman oleh peserta didik.
Lebih dari itu, guru yang tidak menguasai bidang studi (bahan ajar) akan
diremehkan oleh peserta didik.
Untuk dapat menguasai bahan ajar dengan mudah,
guru perlu memperbanyak membaca, mempelajari, mendalami, dan mengkaji bahan
ajar yang ada dalam buku teks maupun buku pelajaran. Berdasarkan pada uraian di
atas, dapat dinyatakan bahwa kinerja guru, salah satunya dipengaruhi oleh
penguasaan bahan ajar yang akan diajarkan. Penguasaan bahan ajar oleh guru
adalah kemampuan yang dimiliki guru dalam menerapkan sejumlah fakta, konsep,
prinsip dan ketrampilan untuk menyelesaikan dan memecahkan soal-soal atau
masalah yang berkaitan dengan pokok bahasan yang diajarkan.
2. Kemampuan Mengelola Pembelajaran
2. Kemampuan Mengelola Pembelajaran
Menurut Uno (2006: 129) kemampuan merujuk pada
kinerja seseorang dalam suatu pekerjaan yang dapat dilihat dari pikiran, sikap,
dan perilakunya. Hal ini berarti kemampuan berhubungan dengan kinerja efektif
dalam suatu pekerjaan. Sedangkan pengelolaan menunjuk kepada kegiatan-kegiatan
yang menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses
suatu kegiatan (Rohani HM, 2004: 123).
Pengertian pengelolaan dipertegas Djamarah
(2005: 144) bahwa pengelolaan berhubungan dengan ketrampilan menciptakan dan
memelihara kondisi yang optimal bagi terjadinya proses interaksi antar pihak
yang terkait.
Sanjaya (2005: 150) menjelaskan bahwa salah
satu tugas guru adalah mengelola sumber belajar untuk mewujudkan tujuan belajar;
sedangkan Usman (2002: 21), menjelaskan bahwa guru memiliki peran yang sangat
penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pembelajaran. Kualitas
pembelajaran, salah satunya dipengaruhi oleh kemampuan guru mengelola
pembelajaran.
Menurut Woolfolk (1984: 436), keberhasilan guru
dalam pembelajaran, di samping ditentukan oleh pengetahuan guru tentang bahan
ajar dan metode-metode mengajar juga ditentukan oleh pengelolalan kelas.
Oleh karena itu, kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran menjadi hal penting karena berkaitan langsung dengan aktivitas
belajar siswa di kelas. Guru harus berupaya memikirkan dan membuat perencanaan
secara seksama untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan kesempatan belajar
bagi siswanya.
Mulyasa (2005: 69) menjelaskan bahwa
pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan berbagai
aspek yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Aspek-aspek yang saling
berkaitan tersebut, antara lain: guru, siswa, bahan ajar, sarana pembelajaran,
lingkungan belajar. Sedangkan, Syafaruddin dan Nasution (2005: 110)
menjelaskan bahwa mengorganisir dalam pembelajaran adalah pekerjaan yang
dilakukan seorang guru dalam mengatur dan menggunakan sumber belajar dengan
maksud mencapai tujuan belajar dengan cara efektif dan efisien.
Dengan demikian, jika dikaitkan dengan
pengertian kemampuan mengelola pembelajaran yang telah dijelaskan di atas, maka
salah tugas guru adalah mengupayakan dan memberdayakan semua aspek yang
terlibat dalam kegiatan pembelajaran, yaitu: guru, siswa, bahan ajar, sarana
pembelajaran, dan lingkungan belajar sehingga proses pembelajaran dapat
berlangsung efektif. Pernyataan tersebut dipertegas lagi oleh Usman (2002: 21)
bahwa pengelolaan pembelajaran terkait dengan upaya guru untuk menciptakan
kondisi pembelajaran yang efektif sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung,
mengembangkan bahan ajar dengan baik, dan meningkatkan kemampuan siswa untuk
memahami materi pelajaran sesuai dengan tujuan pembelajaran yang harus mereka
capai.
Kondisi pembelajaran yang efektif dapat
tercapai jika guru mampu mengatur siswa dan sarana pembelajaran, mampu menjalin
hubungan interpersonal dengan siswa serta mengendalikannya dalam suasana yang
menyenangkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Kondisi pembelajaran yang
efektif akan mempengaruhi kualitas pelaksanaan pembelajaran. Dengan demikian
dapat dinyatakan bahwa kemampuan mengelola pembelajaran merupakan upaya guru
dalam mengelola pembelajaran selama proses pembelajaran berlangsung dengan
dimensi: (1) menciptakan dan memelihara kondisi pembelajaran yang optimal, (2)
melaksanakan kegiatan pembelajaran, (3) membina hubungan yang positif dengan
siswa selama proses pembelajaran berlangsung.
Upaya guru menciptakan dan memelihara kondisi
pembelajaran meliputi indikator: (1) menunjukkan sikap tanggap, (2) memberi
perhatian dan petunjuk yang jelas, (3) menegur/memberi ganjaran, (4) memberi
penguatan, (5) mengatur ruangan belajar sesuai kondisi kelas; upaya guru
melaksanakan kegiatan pembelajaran meliputi indikator: (1) membuka
pembelajaran, (2) melaksanakan pembelajaran, (3) melakukan penilaian dan
tindak lanjutnya terhadap kegiatan pembelajaran, dan (4) menutup
pembelajaran-, sedangkan upaya guru membina hubungan positif dengan siswa
meliputi indikator: (1) membantu mengembangkan sikap positif pada diri siswa,
(2) bersikap luwes dan terbuka terhadap siswa, (3) menunjukkan kegairahan dan
kesungguhan dalam mengajar, dan (4) mengelola interaksi perilaku siswa di dalam
kelas.
3. Komitmen Terhadap Tugas
3. Komitmen Terhadap Tugas
Guru merupakan faktor yang pertama dan utama
yang mempengaruhi pelaksanaan kurikulum. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan
kurikulum di sekolah harus diawali dengan adanya komitmen guru untuk
menjalankan tugas yang aktif, kreatif dan inovatif. Menurut Karlof dan Ostblom
(1994: 17), menjelaskan bahwa keberhasilan suatu pekerjaan tidak hanya
ditentukan oleh adanya partisipasi atau keterlibatan seseorang tetapi juga
dipengaruhi oleh adanya komitmen seseorang dalam menyelesaikan pekerjaan
tersebut.
Menurut Partanto & Al Barry (1994: 352)
komitmen berkaitan dengan kesatuan janji dan kesepakatan bersama. Pengertian
tersebut dapat dipahami bahwa komitmen merupakan pengaturan diri di dalam pekerjaan
masing-masing atau keterikatan psikologis seseorang pada organisasi. Oleh karena
itu, dapat dinyatakan bahwa komitmen berkaitan dengan kesediaan, kepedulian,
ketertarikan dan keterlibatan atas sesuatu dengan penuh tanggung jawab.
Mulyasa (2003: 151) menjelaskan bahwa komitmen
secara mandiri perlu dibangun pada setiap individu warga sekolah termasuk guru,
terutama untuk menghilangkan setting pemikiran dan budaya kekakuan birokrasi,
seperti harus menunggu petunjuk atasan dengan mengubahnya menjadi pemikiran
yang kreatif clan inovatif.
Pernyataan Mulyasa tersebut dipertegas
Syafaruddin & Nasution (2005: 154) yang menyatakan bahwa untuk memantapkan
budaya mutu dalam menuju sekolah unggul perlu dibangun komitmen menanamkan
dalam diri personil sekolah untuk mencapai tujuan. Hal ini menunjukkan bahwa
komitmen merupakan suatu kesediaan untuk berpihak kepada sesuatu tugas yang
didasari atas kreatifitas untuk mencapai suatu tujuan. Perasaan keberpihakan
dan keterlibatan dalam tugas dapat diartikan sebagai unsur kebanggaan dan
menyenangi sesuatu, rela berkorban dan bertanggung jawab.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat
dinyatakan bahwa komitmen adalah suatu keberpihakkan diri terhadap suatu pekerjaan
atau tugas atas dasar loyalitas, tanggung jawab, dan keterlibatan secara
psikologis dalam tugas, seperti kebanggaan dan rela berkorban.
Komitmen tersebut dapat diraih melalui
beberapa aktivitas, antara lain: (1) membangun arti penting tugas yang menjadi
tanggung jawab, (2) menyederhanakan berbagai tugas yang rumit, dan (3)
berorientasi terhadap penyelesaian tugas. Tugas guru salah satunya adalah
mengarahkan dan membimbing kegiatan belajar siswa sehingga siswa mau belajar
(Osman, 2002: 21). Untuk itu, agar siswa cenderung aktif dalam kegiatan pembelajaran
maka guru harus dapat mengarahkan dan membimbing kegiatan belajar siswa. Tugas
pengarahan dan pembimbingan tersebut dapat terwujud, jika dalam diri guru
tersebut ada dorongan dan komitmen untuk melakukannya.
Terkait dengan tugas guru tersebut, Timpe
(1991: 177) menyatakan bahwa dasar komitmen adalah komunikasi dan peran serta.
Adanya komunikasi dan peran guru ditentukan oleh komitmen guru itu sendiri.
Untuk itu, diperlukan komitmen guru mewujudkan proses komunikasi dan peran guru
dalam mengarahkan dan membimbing kegiatan belajar siswa sehingga proses
pembelajaran dapat berlangsung efektif.
Ainsworth, Smith & Millership (2007: 134)
mempertegas peran komitmen dalam mendukung keberhasilan suatu pekerjaan, bahwa
jika mereka kurang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai dan arah strategis
suatu organisasi maka mereka tidak pernah memiliki kinerja sesuai dengan
harapan.
Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka
penulis dapat menyimpulkan bahwa komitmen terhadap tugas adalah keberpihakan seorang
guru secara psikologis dalam mengarahkan dan membimbing kegiatan belajar siswa
sehingga kondisi pembelajaran efektif, yang ditandai oleh: (1) kepedulian
terhadap kesulitan belajar siswa, (2) partisipasi dalam membimbing kegiatan
belajar siswa (secara individu dan kelompok), (3) menciptakan suasana pembelajaran
yang menyenangkan, (4) adanya kemauan yang tinggi dalam membelajarkan siswa,
(5) tingkat kehadiran yang tinggi dan (6) memiliki tanggung jawab dalam tugas
pembelajaran
3. Pengembangan
kinerja guru
Sebagai suatu organisasi, dalam
Sekolah terdapat kerja sama kelompok orang (kepala sekolah, guru, Staf dan
siswa) yang secara bersama-sama ingin mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Semua komponen yang ada di sekolah merupakan bagian yang integral,
artinya walaupun dalam kegiatannya melakukan pekerjaan sesuai dengan fungsi
masing-masing tetapi secara keseluruhan pekerjaan mereka diarahkan pada
pencapaian tujuan organisasi sekolah. Sebagai salah satu anggota Organisasi
Sekolah, Tenaga pendidik/guru menduduki peran yang amat penting dalam proses
pendidikan dan pembelajaran dalam mempersiapkan peserta didik untuk mencapai
kompetensi-kompetensi yang telah ditetapkan
Sebagaimana diketahui, Salah satu bidang penting dalam
Administrasi /Manajemen Pendidikan adalah berkaitan dengan Personil/Sumberdaya
manusia yang terlibat dalam proses pendidikan, baik itu Pendidik seperti guru
maupun tenaga Kependidikan seperti tenaga Administratif. Intensitas dunia
pendidikan berhubungan dengan manusia dapat dipandang sebagai suatu perbedaan
penting antara lembaga pendidikan/organisasi sekolah dengan organisasi lainnya,
ini sejalan dengan pernyataan Sergiovanni, et.al (1987:134) yang menyatakan bahwa:
”Perhaps the most critical difference
between the school and most other organization is the human intensity that
characterize its work. School are human organization in the sense that their
products are human and their processes require the sosializing of humans”
ini
menunjukan bahwa masalah sumberdaya
manusia menjadi hal yang sangat dominan dalam proses pendidikan/pembelajaran,
hal ini juga berarti bahwa mengelola sumberdaya manusia merupakan bidang yang
sangat penting dalam melaksanakan proses pendidikan/pembelajaran di sekolah,
dan diantara SDM
tersebut yang paling berhubungan langsung dengan kegiatan
pendidikan/pembelajaran adalah Guru, sehingga bagaimana kualitas kinerja
Pendidik/Guru dalam proses pembelajaran akan memberikan dampak yang sangat
besar bagi kualitas hasil pembelajaran, yang pada akhirnya akan menentukan pada
kualitas lulusannya
Seorang
guru mau menerima sebuah pekerjaan sebagai pendidik, jika ia mempersiapkan diri
dengan kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut sesuai dengan yang dituntut
oleh organisasi (sekolah). Dan dalam
menjalankan perannya sebagai pendidik, kualitas kinerja mereka merupakan suatu
kontribusi penting yang akan menentukan bagi keberhasilan proses pendidikan di
Sekolah. Oleh karena itu perhatian pada pengembangan kinerja guru untuk terus meningkat
dan ditingkatkan menjadi hal yang amat mendesak, apalagi apabila memperhatikan
tuntutan masyarakat yang terus meningkat berkaitan dengan kualitas pendidikan,
dan hal ini tentu saja akan berimplikasi pada makin perlunya peningkatan
kualitas kinerja guru.
Pada
hakikatnya kinerja guru adalah prilaku yang dihasilkan seorang guru dalam
melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar ketika mengajar di depan
kelas, sesuai dengan kriteria tertentu. Kinerja seseorang Guru akan
nampak pada situasi dan kondisi kerja
sehari-hari. Kinerja dapat dilihat dalam aspek kegiatan dalam menjalankan tugas
dan cara/kualitas dalam melaksanakan kegiatan/tugas tersebut.
Dengan
pemahaman mengenai konsep kinerja sebagaimana dikemukakan di atas, maka akan
nampak jelas apa yang dimaksud dengan kinerja guru. Kinerja guru pada dasarnya
merupakan kegiatan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai
seorang pengajar dan pendidik di sekolah yang dapat menggambarkan mengenai
prestasi kerjanya dalam melaksanakan semua itu, dan hal ini jelas bahwa pekerjaan sebagai guru tidak bisa dilakukan oleh
sembarang orang, tanpa memiliki keahlian dan kwalifikasi tertentu sebagai guru.
Kinerja Guru dalam melaksanakan peran dan tugasnya di sekolah khususnya dalam
proses pembelajaran dalam konteks sekarang ini memerlukan pengembangan dan
perubahan kearah yang lebih inovatif, kinerja inovatif guru menjadi hal yang
penting bagi berhasilnya implementasi inovasi pendidikan dalam rangka
meningkatkan kualitas pendidikan/pembelajaran.
Kinerja
inovatif seorang guru dalam upaya mencapai proses belajar mengajar yang efektif
dan fungsional bagi kehidupan seorang siswa jelas perlu terus dikembangkan.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu dikaji berbagai faktor yang
mungkin turut mempengaruhi kinerja seorang guru.
Upaya
untuk memperbaiki secara terus menerus kualitas pembelajaran perlu menjadi
suatu sikap profesional sebagai pendidik, ini berarti bahwa upaya untuk
mengembangkan hal-hal yang inovatif mesti menjadi konsern guru dalam upaya
meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan demikian, kreativitas dan kinerja
inovatif menjadi amat penting, terlebih lagi dalam konteks globalisasi
dewasa ini yang penunh dengan persaingan dalam berbagai bidang kehidupan,
sehingga Kinerja inovatif termasuk bagi guru perlu terus di dorong dan
dikembangkan, terlebih lagi bila mengingat berbagai tuntutan perubahan yang
makin meningkat.
Dengan mengacu pada uraian
tentang kinerja inovatif sebagaimana dikemukakan terdahulu, maka yang dimaksud
kinerja inovatif (Innovative Performance) guru adalah kinerja yang dalam
melaksanakannya disertai dengan penerapan hal-hal baru dalam upaya meningkatkan
kualitas pendidikan, ciri kinerja atau tugas-tugas yang harus dikerjakan
menggambarkan ciri/feature atau kegiatan kinerja yang harus dilaksanakan oleh
guru, sedangkan inovatif merupakan sifat yang menggambarkan kualitas bagaimana
guru melaksanakan tugas dengan inovatif atau dengan memanfaatkan serta
mengaplikasikan hal-hal baru, baik berupa ide, metode, maupun produk baru dalam
melaksanakan pekerjaan guna meningkatkan kualitas pendidikan/pembelajaran
Dengan pemahaman seperti itu, maka kinerja inovatif guru merupakan
kinerja yang menerapkan hal-hal baru dalam meksanakan peran dan tugas yang
diemban oleh guru tersebut, oleh karena itu, maka pemahaman kinerja inovatif
guru perlu dilihat dalam konteks pelaksanaan tugas dan kewajiban yang harus
dilaksanakan guru sebagai pendidik di sekolah
a. Guru
dalam proses Pembelajaran
Tenaga
Pendidik di Perguruan Tinggi disebut Dosen, sementara tenaga Pendidik pada
Pendidikan Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah di sebut Guru. Meskipun
sama-sama sebagai Pendidikan namun peran dan fungsi mereka sedikit berbeda, hal
ini tercermin dari pengertian keduanya yang tercantum dalam Undang-undang Guru
dan Guru Nomor 14 tahun 2005. dalam Bab 1 Pasal 1 Undang-undang Guru disebutkan sebagai berikut :
”Guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan
pendidikan menengah”
Dari
pengertian di atas nampak bahwa guru mempunyai tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Dengan
demikian peran guru sangat dominan dalam membentuk peserta didik menjadi
manusia yang berkualitas.Upaya pemerintah untuk terus meningkatkan kemampuan
tenaga pendidik termasuk Guru nampak menunjukan konsern yang makin meningkat,
sertifikasi tenaga pendidik yang akan berdampak pada tambahan imbalan jelas
akan cukup membantu dalam meningkatkan kinerja Guru/tenaga pendidik dalam upaya
meningkatkan kualitas pendidikan.
Tanpa
mengurangi dan meniadakan peran serta fungsi yang lain, kinerja guru sebagai pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai pendidik
merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam keberhasilan
pendidikan. Karena apapun tujuan-tujuan dan putusan-putusan penting tentang
pendidikan yang dibuat oleh para pembuat kebijakan sebenarnya dilaksanakan
dalam situasi belajar mengajar di kelas. Sementara itu tugas/kewajiban
Guru menurut Undang-Undang No 14 tahun 2005 pasal 20 adalah sebagai berikut:
·
merencanakan pembelajaran, melaksanakan
proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil
pembelajaran
·
meningkatkan dan mengembangkan
kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
·
bertindak objektif dan tidak diskriminatif
atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, atau latar belakang keluarga dan
status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran
·
menjunjung tinggi peraturan
perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan
etika; dan
·
memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan
bangsa.
kutipan Undang-undang tersebut menunjukan bahwa kewajiban guru pada
dsarnya merupakan kegiatan yang harus dilakukan guru dalam menjalankan peran
dan tugasnya di sekolah, dimana aspek pembelajaran merupakan hal yang utama yang harus dilaksanakan oleh
guru, disamping pengembangan profesional sebagai pendidik guna meningkatkan
kemampuan dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik
serta sebagai fihak yang cukup dominan dalam proses pembelajaran.
Guru
merupakan pekerjaan profesional yang memerlukan keahlian khusus sebagai
pendidik/pengajar. Jenis pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang
orang di luar bidang kependidikan. Tugas guru sebagai profesi meliputi
mendidik, mengajar dan melatih. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan
keterampilan yang diperlukan oleh masyarakat lingkungannya dalam
menyelesaikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dalam
melaksanakan tugas tersebut, dengan mengingat tantangan
pendidikan yang terus berubah, maka kenerja guru perlu dilakukan secara
inovatif guna beradaptasi dan mengantisipasi perubahan masyarakat yang cepat
serta berbagai kebijakan baru pemerintah dalam bidang pendidikan.
Meskipun
pendekatan dalam pembelajaran dewasa ini menitik beratkan pada belajar siswa
(student-centered learning), namun hal itu tidak berarti peran guru dalam
proses pembelajaran menjadi tidak penting, bahkan dalam kenyataannya hal itu
justru akan makin menuntut kemampuan guru untuk mendorong terjadinya belajar
siswa melalui berbagai cara baru (inovasi) agar dalam mengelola pembelajaran
dapat menciptakan situasi kondusif bagi berkembangnya belajar siswa secara
optimal.
Dengan
demikian, dalam proses pembelajaran/belajar mengajar, peran Guru amat penting
dalam mewujudkan suasana belajar mengajar yang efektif bagi pencapaian tujuan
pendidikan, secara sederhana dalam suatu kegiatan pendidikan/pembelajaran
seorang Guru mempunyai tugas untuk melaksanakan perencanaan tentang apa dan
bagaimana suatu proses pembelajaran, dengan rencana tersebut kemudian guru
melaksanakan proses pembelajaran di kelas, dalam proses ini guru menentukan
strategi, metoda, serta media pembelajaran yang digunakan guna menciptakan
proses pembelajaran yang efektif dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dalam rencana pembelajaran.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Rancangan
Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan riset lapangan, yaitu mencari dan
mengumpulkan informasi tentang masalah yang dibahas dari lapangan (tempat
melakukan penelitian tersebut). Peneliti juga menggunakan pendekatan deskriptif
komparatif. Hal ini penulis gunakan mengingat variabel yang diteliti dan
masalah yang dirumuskan, serta hipotesis yang diajukan mengarah pada bentuk
deskriptif komparatif.
Ciri dari pendekatan deskriptif komparatif ini adalah digunakan untuk
mendapatkan pemahaman tentang apakah ada perbedaan nilai suatu observasi
(disebut variabel terikat atau dependen) berdasarkan klasifikasi subyek
(disebut variabel bebas atau independen)",
Jadi penelitian ini akan melihat dampak perubahan
kurikulum KBK ke KTSP sebagai
Variabel bebas (X) terhadap kinerja guru SMAN 2 Kota Bima sebagai Variabel Terikat
(Y). Sehingga paradigma penelitian ini dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 3.1 Paradigma Penelitian
(Sugiyono, 2004: 5)
X : perubahan
Kurikulum
Y : Kinerja Guru
B.
Subyek
Penelitian
1.
Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto,
2006:130). Ahli lain mendefinisikan
“Populasi
adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai
kualitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya” (Sugiyono, 2006:116) Dan dalam
KBBI, populasi didefinisikan
sekelompok orang, benda, atau hal yang menjadi sumber pengambilan sampel.
Dari pendapat para ahli di atas, dapat dikatakan bahwa
populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan guru sosiologi
SMAN 2 Kota Bima yang berjumlah
9 Orang.
2.
Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi. (Sugiyono, 2006:118). Di sisi lain dalam KBBI sampel
didefinisikan sebagai sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan sifat suatu
kelompok yang lebih besar. Teknik yang digunakan untuk mengambil sampel adalah
acak sederhana untuk menentukan kelas yang menjadi anggota sampel dilakukan
dengan cara undian, sehingga anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk
menjadi anggota sampel. Dalam menentukan jumlah siswa yang menjadi sampel
mengacu pada pendapat Arikunto (2006 : 134) bahwa “Apabila jumlah subjek lebih
dari seratus orang, maka dapat diambil antara 10 – 15 % atau 20 – 25 % atau lebih dan ketika kurang
dari seratus orang maka semuanya akan diambil menjadi sampel.
Penulis mengambil sampel guru IPS sosiologi
yang telah mengabdi selama 8 tahun dikarenakan memiliki pengalaman mengenai
pengetahuan yang berhubungan dengan pergantian kurikulum dari KBK ke KTSP. Oleh
karena itu penulis mengambil jumlah sampel sebanyak 5 orang sesuai dengan hal yang dipaparkan tersebut.
C.
Metode
Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data sangat dibutuhkan adanya
instrumen yang tepat dan relevan dengan
jenis data yang ingin dicari. Adapun data yang diperlukan dalam
penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan instrumen sebagai berikut :
1.
Angket
Angket adalah daftar pertanyaan yang setiap pertanyaan
sudah disediakan jawabannya untuk dipilih, atau telah disediakan tempat untuk
mengisi jawabannya". (Sumadi Suryabrata, 1993: 32) Metode angket dalam
penelitian ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana dampak perubahan
kurikulum terhadap kinerja guru Sosiologi SMAN 2 Kota Bima.
Angket ini disusun berdasarkan skala nilai model likert.
"Skala likert menurut Kinnear, yaitu cara mengukur secara sistematis
dengan memberikan skor pada respon yang terjadi pada setiap pertanyaan. (Sumadi
Suryabrata, 1993: 35).
Pemberian skor pada angket ini diatur secara beringkat
dengan empat tahapan dengan pilihan :1)selalu,2)sering,3)Pernah,4)tidak pernah
(sugiono, 1999) dan kemudian di konversi ke dalam nilai (skor) yakni 4 (selalu), 3(sering ),2 (pernah),1 (tidak
pernah).
2.
Observasi
Observasi adalah tehnik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung terhadap
subjek yang diteliti (Riyanto, 2001: 96). Dan menurut Arikunto, (1993:225),
observasi adalah suatu usaha sadar yang dilakukan untuk mengupulkan data secara
sistematis denga prosedur yang berstandar. Dalam KBBI observasi didefinisikan
sebagai peninjauan secara cermat. Instrumen
ini digunakan untuk mengupulkan data melalui pengamatan secara langsung
terhadap subjek yang diteliti dan hal-hal yang diamati.
3.
Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah dokumen, yang artinya barang-barang
tertulis (Arikunto, 2002: 131). Dalam KBBI dokumentasi didefinisikan sebagai pemberian atau
pengumpulan bukti dan keterangan seperti gambar, kutipan, guntingan koran, dan
bahan referensi lain. Jadi dokumentasi adalah metode pengumpulan data yang
dilakukan melalui barang tertulis seperti : catatan-catatan dokumen atau
dokumen tertulis yang berkaitan dengan masalah yang menjadi subyek penelitian peneliti. Metode ini
digunakan peneliti untuk memperoleh dokumen atau data yang ada di SMAN 2
kota Bima.
D.
Instrumen Penelitian
Instrumen
penelitian adalah alat atau metode yang digunakan dalam penelitian (Sugiyono;
2009). Adapun instrumen yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah
angket/kuisioner dengan sejumlah item pertanyaan yang berkaitan dengan
indikator penelitian:
Dalam
penelitian kuantitatif, peneliti akan menggunakan instrumen untuk mengumpulkan
data, sedangkan dalam penelitian kuantitatif peneliti akan lebih banyak menjadi
instrumen, karena penelitian kualitatif peneliti merupakan key instrument.
Instrumen
penelitian digunakan untuk mengukur variabel yang diteliti, sehingga jumlah
instrumen yang akan digunakan untuk penelitian akan tergantung pada jumlah
variabel yang diteliti. (Bila variabelnya 5 maka instrumen yang akan digunakan
juga 5).
1. Skala
Pengukuran Instrumen
Skala
pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam
alat ukur, sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran akan
menghasilkan data kuantitatif.
Skala
Likert yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat danpersepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena. Variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian
indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item
instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan. Jawaban setiap item
instrumen yang menggunakan skala likert mempunyai gradasi dari sangat positif
sampai sangat negatif. Untuk keperluan analsisi kuantitatif, jawaban itu dapat
diberi skor (1 – 5 atau disesuaikan dengan kebutuhan).
Skala
Instrumen yang digunakan adalah skala likert (alat untuk mengukur sikap,
pendapat, dan persepsi seseorang atau kelompok orang tentang fenomena sosial).
Dengan skala likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi
indikator variabel. Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak
untuk menyusun item-item pernyataan atau pertanyaan.
Untuk
keperluan analisis kuantitatif, maka jawaban dari item-item pertanyaan tersebut
dapat diberi skor;
a. Selalu
diberi
skor 4
b. Sering diberi
skor 3
c. Pernah
diberi
skor 2
d. Tidak
pernah diberi
skor 1
Adapum kisi-kisi angket/kuisioner tentang dampak perrubahan kurikulum KBK ke KTSP dalam meningkatkan
kinerja guru :
Table
3.1 contoh table penilaian kinerja guru
No
|
Indicator
|
Descriptor
|
No soal
|
Pfh (%)
|
Pfh rata-rata
|
Tingkat perubahan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
E.
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan langkah atau tahapan dalam
melakukan penelitian. Ada beberapa tahap yang harus diteliti yaitu:
1)
Tahap
Persiapan
a)
Peneliti
mengajukan judul skripsi kepada ketua program studi Pendidikan Sosiologi pada STKIP Bima.
b)
Peneliti
mengurus surat ijin penelitian yang akan diajukan pada SMAN 2
kota Bima.
2)
Tahap
Pelaksanaan
a)
Peneliti
melakukan observasi terhadap obyek yang ditentukan dalam mencatat hal-hal yang
dapat melengkapi data dalam penelitian.
b)
Pengumpulan
data dilakukan dengan menggunakan anket.
c)
Mengidentifikasi
dari hasil intrumen penelitian secara sistematis
d)
Mengolah
data
e)
Menganalisa
data
3)
Tahap
penyusunan laporan
a)
Menyusun
laporan penelitian
b)
Menghadapi
ujian skripsi
F.
Analisa Data
Menganalisis data adalah proses mencari dan menyusun
secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,
dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya dapat
diinformasikan pada orang lain. (Chalid Narbuko dan Abu Achmadi, 1997: 334)
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan metode kuantitatif. kuantitatif adalah suatu metode yang
mengutamakan keterangan melalui angka–angka. Analisis dengan menggunakan
deskriptif kuantitatif disini adalah menghitung data hasil pengaruh dukungan
orang tua terhadap prestasi belajar siswa
Untuk
mengetahui pengaruh analisis di lakukan dengan menggunakan persentase dengan
menggunakan rumus :
Keterangan :
Pfh : presentase perubahan
kinerja guru
N :
jumlah responden (keseluruhan sampel)
B. Maks : skor maksimal ideal tiap angket
∑ skor : jumlah skor
∑ M : jumlah butir soal/descriptor
Hasil hitungan
dari data nilai angket kemudian dikelompokkan berdasarkan descriptor kemudian
dihitung presesntasenya berdasarkan rumus diatas dan di konversikan ke dalam
kategori tertentu dengan menggunakan pedomen konversi seperti pada table
berikut :
Table
3.1 interval kategori presentase perubahan kinerja guru
No
|
Presentase perubahan kinerja guru
|
Tingkat perubahan kinerja
|
1
|
80-100
|
Sangat berubah
|
2
|
61-79
|
Berubah
|
3
|
41-60
|
Cukup berubah
|
4
|
21-40
|
Kurang berubah
|
5
|
0-20
|
Sangat tidak berubah
|
Sumber :
Tauhid Dalam Zaidun (2003)
ASALAMUALAIKUM SAYA INGIN BERBAGI
BalasHapusCERITA KISAH SUKSES SAYA JADI PNS
Assalamu Alaikum wr-wb, mohon maaf sebelum'nya saya ingin mempublikasikan KISAH KESUKSESAN saya menjadi seorang PNS, saya ingin berbagi kesuksesan keseluruh pegawai honorer di instansi Pemerintan Manapun, saya sudah 7 tahun saya jadi tenaga honor belum diangkat jadi PNS Bahkan saya sudah 2 kali mengikuti ujian, dan membayar 70 jt namun hailnya nol uang pun tidak kembali, bahkan saya sempat putus asah, pada suatu hari tempat saya honor mendapat tamu istimewa dari salah seorang pejabat tinggi dari kantor BKN pusat karena saya sendiri mendapat penghargaan pengawai honorer teladan, disinilah awal perkenalan saya dengan beliau, dan secara kebetulan beliau menitipkan nomor hp pribadinya 0853-2174-0123 dan 3 bln kemudian saya pun coba menghubungi beliau dan beliau menyuruh saya mengirim berkas saya melalui email, Satu minggu kemudian saya sudah ada panggilan untuk ujian, alhamdulillah berkat bantuan beliau saya pun bisa lulus dan SK saya akhirnya bisa keluar,dan saya sangat berterimah kasih ke pada beliau dan sudah mau membantu saya, itu adalah kisah nyata dari saya, jika anda ingin seperti saya, anda bisa Hubungi Bpk DR. HERMAN. M.SI No beliau selaku direktur aparatur sipil negara di bkn pusat Hp beliau 0853-2174-0123 siapa tau beliau masih bisa membantu anda. Wassalam....